Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, pada Rabu (17/4) mengatakan negaranya sedang meninjau kembali perannya sebagai mediator antara Israel dan Hamas. Ia menuduh beberapa pihak "menyalahgunakan" peran Qatar untuk meraih keuntungan politik.
Qatar adalah mediator utama antara Israel dan kelompok militan Hamas selama perang di Gaza berlangsung.
Bersama dengan Amerika Serikat dan Mesir, Qatar membantu merundingkan jeda singkat dalam pertempuran pada November lalu yang berujung pada pembebasan puluhan sandera.
Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Qatar, mengatakan ada "batasan" dalam memegang peran mediator, dan hal ini "membatasi kemampuan kami berkontribusi secara konstruktif pada perundingan ini."
"Kami selalu bekerja sama secara erat dengan mitra kami dalam mediasi ini, baik itu AS maupun Mesir, untuk menjembatani kesenjangan dan memasukkan saran berdasarkan mediasi yang terjalin. Namun, pada akhirnya, peran sebagai mediator juga terbatas. Maksud saya, itu mempunyai batasan dan tidak bisa menyediakan segalanya," ujarnya.
BACA JUGA: Israel Persiapkan Pertahanan Udara untuk Hadapi Serangan Iran pada Masa DepanPada konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Turki di Doha, Al Thani mengatakan terjadi penyalahgunaan terhadap mediasi Qatar untuk "kepentingan politik yang sempit."
Ia tidak menyebut siapa pihak yang dimaksud dalam komentarnya itu.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah berulang kali mengkritik Qatar selama perang yang masih berlangsung dan baru-baru ini mengancam akan menutup lembaga penyiaran Qatar, Al Jazeera.
Para pemimpin Hamas tinggal di pengasingan di Qatar dan Qatar dinilai sebagai satu-satunya pihak yang memiliki pengaruh terhadap Hamas.
Para mediator telah berusaha menekan Hamas dan Israel agar mencapai kesepakatan gencatan senjata tetapi hal tersebut masih belum tercapai. Kedua pihak memiliki perbedaan besar dalam penetapan syarat-syarat gencatan senjata. [jm/ka/rs]