Munculnya fenomena radikalisme berbasis agama tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal, melainkan ada faktor lain yang berperan membentuk seseorang atau masyarakat menjadi radikal, demikian pernyataan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Masdar Hilmy dalam diskusi di Surabaya, Kamis lalu (25/10).
Fenomena radikalisme agama ini kata Prof. Masdar Hilmy, harus diakui muncul dalam ayat-ayat di dalam kitab suci, yang diterapkan tanpa adanya pertimbangan relevansi konteks yang menyertainya.
“Kita harus rendah hati mengatakan bahwa memang di dalam teks suci kita ini ada banyak ayat-ayat yang menyuruh kita ini untuk berperang dan membunuh. Nah, persoalannya adalah apakah ayat-ayat tadi itu harus kita terapkan apa adanya tanpa mempertimbangkan relevansi konteksnya,” ujar Masdar.
BACA JUGA: Survei: Tingkat Opini Intoleransi dan Radikalisme Guru Muslim di Indonesia Sangat TinggiSementara, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Ishomuddin menilai akar munculnya radikalisme dipengaruhi oleh pemahaman ilmu agama yang dangkal, terkait maksud diturunkannya agama yang sesungguhnya menarik orang pada kebaikan dan menghindarkan dari keburukan. Selain pengetahuan agama yang rendah, radikalisme juga dipengaruhi oleh wawasan yang kurang luas dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya berkaitan dengan kebhinnekaan di Indonesia.
“Mereka tidak memiliki ilmu agama yang mendalam, akhlak yang mulia, lebih mengedepankan hawa nafsu daripada ilmu. Selain tentu ada faktor-faktor yang lain, yang membentuknya, seperti merasa tertindas, merasa kalah dalam persaingan di bidang ekonomi, kalah persaingan di bidang politik, tidak menemukan jalan keluar sehingga segala sesuatu mau diselesaikan dengan jalan kekerasan dan pengingkaran terhadap perbedaan-perbedaan. Padahal itu bukan merupakan jalan keluar untuk mencapai suatu titik temu, tetapi justru menimbulkan kegaduhan, menimbulkan korban bahkan terhadap orang-orang yang berbeda,” tukas Ahmad.
Membaca situasi saat ini, Ketua Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society (NCMS), Omi Komaria Madjid mengatakan, radikalisme dan intoleransi dapat diatasi dengan mengajak semua elemen bangsa untuk bersikap rendah hati dalam beragama. Menurut Omi, berbagai keanekaragaman yang dimiliki Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus diterima dan disyukuri, sebagai bentuk pengakuan dan kepatuhan manusia pada kehendak Tuhan.
“Kebhinnekaan itu secara positif terima bahwa itu sebagai anugerah dari Tuhan. Nah karena augerah dari Tuhan, itu kita jangan mengingkari dan apalagi melawan, karena kalau mengingkari atau melawan, berarti mengingkari atau melawan kehendak Tuhan itu. Maka dari itu, kita secara aktif mewujudkan itu, memelihara pemberian Tuhan itu,” ujar Omi.
Ahmad Ishomuddin menambahkan, masyarakat pemeluk agama di Indonesia harus kembali pada ajaran agamanya masing-masing, yang mengajarkan kebaikan dan cinta kasih dalam hidup di dunia. Umat beragama kata Ishomuddin, harus mau belajar agama secara benar, dengan tuntunan pemuka agama atau ulama yang terpercaya keilmuannya.
“Khusus bagi Nahdliyin, ikutilah para Kyai NU yang ilmunya terpercaya, mendalam di bidang agama, dan mereka orang-orang yang cinta tanah air. Orang yang betul-betul mendalami ilmunya dan cinta tanah air, tidak akan membuat kerusakan di tanah airnya sendiri. Dia tidak akan berbuat dzolim kepada orang lain,” tukasnya.
Menanggapi hal itu, Fauzan, warga Surabaya menilai upaya deradikalisasi yang dilakukan pemerintah sudah cukup baik, meski tidak cukup hanya ditujukan pada mantan napi terorisme. Fauzan mengatakan, perlu sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat mengenai bahaya intoleransi dan radikalisme bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Materi kontra radikalisme harus diberikan kepada sekolah-sekolah yang selama ini menjadi lahan subur persemaian benih kebencian, bila tidak ingin gerakan anti intoleransi dan radikalisme hanya sebagai retorika belaka. [pr/em]