Rakyat Iran Memilih Presiden Baru

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei disambut oleh pekerja pemilihan, semuanya mengenakan masker wajah karena pandemi COVID-19, saat ia tiba untuk memberikan suaranya pada 18 Juni 2021. (Foto: AFP)

Para pemilih di Iran menuju tempat-tempat pemungutan suara pada hari Jumat (18/6) untuk memilih presiden baru. Namun pemilih begitu apatisnya sementara negara di Timur Tengah itu menghadapi lonjakan kasus virus corona dan ekonomi yang hancur karena sanksi-sanksi AS.

Presiden petahana Hassan Rouhani telah berkuasa maksimal dua masa jabatan.

Dalam pernyataan di televisi pemerintah, Rouhani mendesak “orang-orang sangat baik di berbagai penjuru negeri” untuk ke TPS-TPS dan memilih kandidat yang mereka inginkan di antara para kandidat yang ada.

Banyak kandidat telah mengundurkan diri dari persaingan atau didiskualifikasi menjelang pemilu pada hari Jumat (18/6).

Pria Iran menunjukkan identitas mereka saat mereka mengantre untuk memilih presiden di sebuah tempat pemungutan suara di Teheran, pada 18 Juni 2021. (Foto: AFP/Atta Kenare)

Hari Rabu (16/6), dua kandidat garis keras mundur dari persaingan, dan memberikan dukungan mereka bagi kandidat garis keras lainnya, Ebrahim Raisi, kepala lembaga peradilan Iran. Mantan gubernur bank sentral Iran Abdolnasser Hemmati, politisi lain yang tersisa dalam pemilu, adalah seorang kandidat reformis.

Para analis politik mengatakan kemungkinan besar pemenang pemilu adalah Raisi yang berusia 60 tahun, yang mendapat dukungan pemimpin tertinggi Ayatullah Ali Khamenei. Keterlibatan Raisi pada masa lalu dalam pelanggaran HAM akan membuatnya sebagai presiden yang bermasalah bagi Barat, kata analis Iran Behman Ben Taleblu dari lembaga kajian Foundation for the Defense of Democracies yang berbasis di Washington.

“Sayangnya ia paling terkenal karena tindakan keji mengawasi apa yang disebut komisi kematian pada akhir 1980-an yang melaksanakan perintah pembunuhan dari Ayatullah Khomeini, dan menewaskan 5.000 lebih tahanan politik di Teheran,” kata Taleblu.

Khamenei mendorong 59 juta pemilih terdaftar untuk ke TPS dengan memperingatkan warga Iran mengenai konspirasi asing untuk merongrong pemilu. Semua kandidat disetujui dan disaring oleh Dewan Wali rezim Iran.

Iran telah diguncang oleh serangkaian peristiwa yang membentuk lanskap pemilu kali ini. Pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani pada Januari 2020 yang ditarget drone AS mendorong kemarahan masyarakat yang meluas. Beberapa hari kemudian, pasukan Iran secara tidak sengaja menembak jatuh sebuah pesawat penumpang Ukraina, menewaskan seluruh 176 orang di dalamnya. Insiden ini mendorong protes antipemerintah di beberapa kota.

BACA JUGA: Iran Bersiap Gelar Pilpres di Tengah Krisis Ekonomi, Ketegangan Nuklir

“Jadi ada siklus berbagai peristiwa saling terkait yang meredam sentimen rakyat, dan pada November 2019, protes menentang kenaikan harga BBM juga ditumpas secara brutal. Jadi warga awam Iran tidak terlalu ingin memberikan suara,” kata Sanam Vakil, wakil ketua program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga kajian Chatham House yang berbasis di London kepada VOA.

Iran secara signifikan meningkatkan pengayaan nuklirnya sejak AS meninggalkan perjanjian tahun 2015, yang disebut Rencana Tindakan Komprehensif Bersama, JCPOA. Iran diduga perlu waktu beberapa bulan saja untuk membuat cukup banyak materi untuk senjata nuklir. AS sedang mempertimbangkan kembali bergabung dengan perjanjian nuklir 2015 itu, hanya jika Iran menghentikan pengayaan itu. Namun Iran menyatakan AS harus lebih dulu menghentikan sanksi-sanksi. Pembicaraan di Wina masih terus berlangsung.

Semua kandidat presiden Iran mendukung perundingan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir. [uh/ab]