Kritik tajam terhadap Kamala Harris mengemuka hanya beberapa jam setelah calon presiden Partai Demokrat Joe Biden memilihnya sebagai pendamping untuk melawan pasangan Donald Trump-Mike Pence dalam pilpres AS pada 3 November.
Jika kecaman terhadap Biden, atau Trump dan Pence, yang lebih pada soal rekam jejak dalam menangani suatu isu, serangan terhadap Kamala lebih karena sosoknya sebagai perempuan. Kecaman itu berlipat ganda karena Kamala berasal dari kelompok multietnis. Ia lahir dari ayah asal Jamaika dan ibu asal India.
BACA JUGA: Trump Kampanye di 5 Negara Bagian, Biden Fokus di PennsylvaniaKecaman juga sempat dirasakan lima perempuan lain ketika bersama Kamala di awal pilpres mencalonkan diri sebagai kandidat calon presiden Partai Demokrat. Kelima politisi itu adalah anggota Kongres dari Hawaii, Tulsi Gabbar; Senator New York Kirsten Gillibrand, Senator Minnesota Amy Klobuchar, Senator Massachusetts Elizabeth Warren, dan aktivis-politisi Marianne Williamson.
Ratusan politisi perempuan lainnya, termasuk yang mewakili Partai Demokrat juga menghadapi kecaman saat mereka maju untuk memperebutkan kursi di Senat dan DPR, atau bertarung untuk menjadi gubernur.
Pakar politik di Universitas Loyola di Chicago, Dr. Ratri Istania, mengatakan perjuangan perempuan Amerika Serikat sejak seabad lalu memang belum selesai.
“Pengakuan hak perempuan untuk memberikan suara tidak serta merta membuat jalan mereka untuk duduk di lembaga legislatif (Senat dan DPR) dan eksekutif berjalan mulus,” ujar Ratna
Namun, imbuh Ratna, kondisi sekarang jauh jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Hal itu, ujarnya, ditandai dengan meningkatnya jumlah perempuan yang ikut bertarung maupun yang memberikan suara meningkat pesat sejak pemilu sela 2018.
Prof. Etin Anwar, ilmuwan perempuan di Hobart & William Smith Colleges di New York mengatakan kritik tajam – yang sering terkesan galak – terhadap para kandidat sebenarnya karena warga AS ingin menguji calon yang bertarung. Sekaligus, mereka ingin mengetahui agenda yang ditawarkan.
Misalnya, ujar Prof. Etin, para pemilih ingin mengetahui rencana ekonomi Biden, atau kebijakan imigrasi Trump.
“Seperti apa di Demokrat, seperti apa di Republik. Jadi narasi-narasi rasis, seksis, homofobik, dan lain-lain itu semata-mata karena keingintahuan dan sekaligus mempertahankan agenda-agenda itu,” papar Etin.
BACA JUGA: Partisipasi Politik Diaspora Indonesia dalam Pemilu ASYang berbeda dengan di Indonesia, kata Etin, narasi-narasi yang kejam yang muncul itu sebagian besar karena orientasi agama.
Kecaman Pedas
Kamala Harris adalah perempuan ketiga dalam sejarah Amerika yang dicalonkan sebagai calon wakil presiden. Sebelumnya ada Geraldine Ferraro yang dipilih Walter Mondale mendampinginya sebagai cawares Partai Demokrat dalam pilpres 1993 dan Sarah Palin yang dipilih John McCain sebagai cawapres Partai Republik dalam pilpres 2008. Keduanya juga menghadapi kecaman yang tidak kalah sengitnya.
Hillary Clinton, capres Partai Demokrat dalam pilpres 2016 juga mengalami hal yang sama. Demikian juta puluhan atau bahkan ratusan perempuan yang mencalonkan diri untuk kursi di Senat dan DPR, baik di tingkat negara bagian maupun nasional, termasuk untuk posisi eksekutif.
Anggota Kongres Alexandria Ocasio Cortez, Ayanna Pressley, Ilhan Omar, dan Rashida Tlaib merasakan langsung dampak dari situasi yang memarjinalkan perempuan ini. Demikian pula Gubernur Michigan Gretchen Whitmer, satu dari sembilan gubernur perempuan di AS. Gretchen baru-baru ini menjadi target penculikan karena kebijakan lockdown atau karantina wilayah yang dikeluarkannya.
Dengan kondisi tersebut, Ratri mengatakan, memang tidak bisa dipungkiri bahwa Amerika Serikat masih misoginis.
“Apalagi jika melihat kultur politik yang memang didominasi warga kulit putih, Evangelical,” ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Ratri memperkirakan perjuangan politik perempuan di AS akan sedikit suram dengan terpilihnya Amy Coney Barrett, Hakim Agung di Mahakamah Agung yang dicalonkan oleh Presiden Trump.
“Ini karena (kelompok) konservatif tidak terlalu suka jika perempuan memimpin,” imbuhnya.
Pasca Tewasnya George Flyod
Isu rasisme juga semakin menguat setelah tewasnya laki-laki kulit hitam George Flyod saat dalam proses penahanan oleh polisi. Floyd tewas karena tak bisa bernapas setelah lehernya ditekan dengan lutut oleh polisi kulit putih Derek Chauvin selama hampir delapan menit. Ia ditangkap polisi karena diduga menggunakan uang dua puluh dolaran palsu untuk berbelanja di sebuah toko kelontong di Minneapolis, Minnesota.
Kasus Flyod membuka luka lama warga Amerika keturunan Afrika akan aksi kekerasan polisi terhadap mereka. Kedua calon presiden berupaya keras menjawab hal ini dalam kampanye dan debat terbuka.
Partisipasi Politik Perempuan
Mengingat sengitnya pertarungan pilpres kali ini, US Elections Project dan Brookings Institute memperkirakan jumlah warga Amerika yang akan memberikan suara akan sangat tinggi.
Indikasi ini sudah tampak dari melesatnya jumlah warga yang memberikan suara lebih dini. Baik lewat pos maupun yang datang langsung ke tempat-tempat pemungutan suara (TPS) di negara-negara bagian yang melangsungkan pencoblosan dini (early voting). Hingga laporan ini diturunkan, sudah 90 juta pemilih AS yang mencoblos.
BACA JUGA: Komunitas Muslim AS Antusias Berikan Suara dalam PilpresMenurut perkiraan, 150 juta dari hampir 240 juta warga Amerika yang berhak memilih, akan memberikan suara tahun ini atau lebih dari 62 persen. Proporsi ituhampir menyamai jumlah mereka yang memberikan suara pada pemilu 2008, yaitu 61,65 persen serta pilpres 2016 dan 2004, yang masing-masing mencapai 60,1 persen.
Survei yang dilakukan Pew Research atas pemilu paruh waktu pada November 2018 menunjukkan jumlah pemilih perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Sekitar 55 persen perempuan memberikan suara mereka, dibanding laki-laki yang mencapai 51,8 persen. Atau jauh lebih tinggi dibanding pemilu paruh waktu pada 2014 di mana hanya 43 persen perempuan dan 40 persen laki-laki yang memberikan suara mereka.
Jumlah yang kurang lebih sama diperkirakan akan tampak dalam pilpres pada 3 November. [em/hj/lt]