Ratusan perempuan berpawai melalui jalan-jalan Lima, Peru, pada Sabtu (23/11), beberapa hari sebelum “Hari Internasional bagi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan,” yang dirayakan setiap 25 November.
Sekelompok demonstran berpawai sambil membawa peti mati dari kardus dengan nama Sheyla Condor, salah satu kasus pembunuhan yang diduga terkait gendernya yang paling menonjol di negara itu.
LSM Peru Manuela Ramos, yang membela hak-hak perempuan dan memantau kasus kekerasan gender, mengatakan kepada kantor berita Associated Press bahwa laju kekerasan di negara itu “sangat tinggi.”
BACA JUGA: Enam Menteri Peru Mundur di Tengah Kasus Hukum Presiden Boularte“Hingga Juli tahun ini, lebih dari 5.000 laporan perempuan yang hilang telah diajukan: perempuan dari semua kelompok umur, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Hanya setengah dari mereka yang hilang yang telah ditemukan,” kata Shely Cabrera, pengacara yang bekerja untuk LSM Manuela Ramos.
Aktivis Rocio Silva, salah seorang pengunjuk rasa, mengatakan, “Kami menunjukkan perlawanan dalam kekerasan terhadap perempuan. Kami marah atas berbagai alasan. Alasan utamanya adalah bahwa kami memiliki perempuan sebagai presiden di negara ini yang sepenuhnya tunduk pada patriarki. Ia tidak peduli mengenai kekerasan gender atau isu-isu lain yang terkait perempuan.”
PBB mengatakan para aktivis hak-hak perempuan telah memperingati tanggal 25 November sebagai hari menentang kekerasan berbasis gender sejak 1981.
Hari itu dipilih untuk menghormati Mirabal bersaudara, tiga perempuan yang menjadi aktivis politik dari Republik Dominika, yang dibunuh dengan kejam pada tahun 1960 atas perintah penguasa negara itu, Rafael Trujillo (1930-1961). [uh/ab]