Di Cedars-Sinai Medical Center, seorang perempuan menikmati pemandangan dan suara yang menenangkan lewat realitas virtual dengan menggunakan teknik meditasi seperti yang digunakan seorang biksu Budha, atau dalam praktik kontemplatif beberapa jemaat Kristiani untuk menenangkan pikiran mereka.
“Bagian otak yang terus menerus mengoceh dan bicara dengan Anda, menyusun strategi untuk menghalangi relaksasi dan meditasi. Jadi apa yang dilakukan realitas virtual adalah memberi orang akses pada kemampuan untuk menghambat suara ocehan batin itu," ujar Dr. Brennan Spiegel di Cedars-Sinai Medical Center.
Pasien pengobatan realitas virtual, Tom Norris, menggunakan teknologi ini untuk mengatasi rasa sakit kronis.
“Teknologi ini memberdayakan orang untuk mengatasi rasa sakit mereka secara mandiri, daripada bergantung pada dokter dan obat-obatan," katanya.
Pasien “mengunjungi” dunia fantasi yang mencerminkan apa yang terjadi di dunia nyata karena headset realitas virtual memantau pernafasan dan gerakan mata. Suatu hal yang membantu perempuan melahirkan misalnya.
“Kami dapat menunjukkan pada mereka sebuah pohon yang seakan mereka hidupkan, dan ketika setiap helaan nafas membuat pohon itu hidup, daun-daun di pohon itu pun mulai berguguran," jelas Dr. Brennan Spiegel.
Aplikasi realitas virtual membuat penggunanya dapat melakukan perjalanan virtual.
BACA JUGA: Teknologi Realitas Maya Bantu Penghuni Panti Jompo Jelajahi 'Dunia Baru'“Misalnya, terbang di angkasa, terbang melintasi air terjun, menelusuri Grand Canyon atau Yellowstone Park, atau apapun yang ingin kita berikan kepada pasien," tutur Dr. Brennan Spiegel.
Metode-metode semacam itu terbukti membantu pasien mengatasi rasa sakit. Dalam uji coba acak tahun 2018 dan 2019 yang mengikutsertakan 40 perempuan yang melahirkan, secara statistik rasa sakit mereka yang menggunakan realitas virtual saat melahirkan turun secara signifikan.
Namaun Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika atau FDA mengatakan diperlukan penelitian yang lebih ketat. [em/lt]