Fartum Garad melarikan diri dari Somalia ke kamp pengungsi Kenya setelah milisi menyerang rumahnya dan membunuh ayahnya empat tahun lalu. Dia bergabung dengan satu-satunya kerabat yang masih hidup di Nairobi. Fartum bisa mendapat bantuan, bahkan melanjutkan sekolah, sekalipun dalam masa pandemi, berkat kelompok bantuan yang didanai Amerika, RefuSHE.
“Selama pandemi, kami diberi ponsel dan kami belajar di rumah. Memang agak sulit karena jaringan internet kurang bagus, dan kerap terganggu oleh tetangga. Sangat sulit untuk berkonsentrasi penuh ketika sedang belajar. Kadang-kadang kita tidak menyimak dengan baik cara guru menjelaskan,” kata Fartum Garad
RefuSHE membantu perempuan dan anak perempuan pengungsi di Kenya yang lebih mungkin berhenti bersekolah dan dieksploitasi daripada laki-laki. Pandemi virus corona membuat mereka semakin rentan, kata CEO RefuSHE Kenya Geoffrey Thige.
“Merekalah yang rentan terhadap kekerasan seksual berbasis gender. Pada tingkat rumah tangga, kalau mereka mempunyai waktu luang, mereka akhirnya menjadi sangat membutuhkan, dan karena miskin, mereka juga akhirnya rentan terhadap prostitusi. Inilah tantangan ekonomi yang dihadapi gadis-gadis muda ini," jelasnya.
RefuSHE tidak hanya menyediakan rumah yang aman bagi anak-anak perempuan pengungsi tetapi juga pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja.
Sejak berusia dua tahun, pengungsi Ethiopia Dera Anyanya telah tinggal di Kenya bersama orang tuanya. Program Pemberdayaan Anak Perempuan RefuSHE telah membantunya mengejar mimpi menjadi seorang programmer komputer.
“Sebagai pengungsi, ibu-ibu, umumnya kita dianggap perempuan yang seharusnya tinggal di rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga, menikah, mempunyai anak, mengasuh anak, mengurus keluarga. Akibatnya, semakin banyak pengungsi. Laki-laki atau anak laki-laki lebih berpendidikan daripada perempuan,” jelas Dera Anyanya.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan terdapat lebih dari 80.000 pengungsi perkotaan dan pencari suaka di Kenya, dengan 80 persen dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.
Your browser doesn’t support HTML5
Juru bicara UNHCR Kenya Eujin Byun mengungkapkan, “Mereka menghadapi banyak kesulitan terkait hambatan budaya, yang membuat mereka terpaksa menikah atau menikah dini. Selain itu, mereka terpapar banyak kekerasan seks dan kekerasan berbasis gender, ditambah kurangnya kesempatan pendidikan dan mata pencaharian.”
Itulah berbagai tantangan yang dihadapi perempuan dan anak perempuan pengungsi di Kenya. Kelompok bantuan seperti RefuSHE mengulurkan bantuan untuk mengatasi tantangan-tantangan itu. [ka/jm]