Rekam Jejak Dinilai Vital Untuk Pilih Pimpinan dan Dewas KPK

  • Fathiyah Wardah

Sejumlah aktivis antikorupsi berdemo untuk menuntu diakhirnya praktik korupsi di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Jakarta, 9 November 2021. (Foto: Adek Berry/AFP)

Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan rekam jejak merupakan hal paling penting dalam memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pegawas KPK. Untuk itu ICW mendesak panitia seleksi untuk menjadikan rekam jejak sebagai fondasi dalam mempertimbangkan setiap kandidat.

Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mendesak panitia seleksi (Pansel KPK) untuk mengecek, menelusuri, dan mendalami rekam jejak tiap-tiap 40 calon pimpinan KPK dan 40 kandidat Dewan Pengawas KPK yang dinyatakan lolos tes kompetensi.

Para kandidat yang lolos tersebut memiliki latar belakang pekerjaan yang beragam, termasuk dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung (MA), dan internal KPK. Dia meminta panitia seleksi berkoordinasi dengan lembaga pengawas di masing-masing institusi kandidat yang bersangkutan untuk menelusuri rekam jejak tiap calon, bukan hanya membuka pos pengaduan masyarakat.

Dari 40 calon pimpinan KPK tersebut, lanjut Kurnia, terdapat delapan kandidat dari Kepolisian, empat dari Kejaksaan Agung, empat dari Mahkamah Agung, serta dua Wakil Ketua KPK yaitu Nurul Ghufron dan Johanis Tanak. Terkait majunya dua pimpinan KPK tersebut dalam proses seleksi, Kurnia mengharapkan panitia seleksi bertindak aktif menelusuri kembali rekam jejak keduanya.

"(Panitia seleksi) jangan hanya bersandar pada dokumen administrasi, soal putusan tapi dalami lebih lanjut, orang ini pernah disidangkan nggak? Kalau pernah disidangkan, apa sih yang muncul dalam prodes sidangnya? Adakah faktor-faktor menarik yang menjadi petunjuk bagi pantia seleksi untuk dalami," katanya.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Diminta Selektif Pilih Pansel KPK

Menurut Kurnia, adanya pihak dari Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dalam panitia seleksi, tentu seharusnya tidak sulit bagi pansel untuk mendalami tentang bagaimana profil keuangan dari 40 kandidat pimpinan KPK dan 40 calon Dewan Pengawas KPK; untuk kemudian dibandingkan dengan data, misalnya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Menurut Kurnia, ada tiga indikator LHKPN bagi calon kandidat pimpinan KPK dan Dewan KPK, yakni jujur, lapor setiap tahun, dan tidak terlambat melapor LHKPN. Jika salah satu dari tiga indikator tersebut dilanggar, maka panitia seleksi harus mendiskualifikasi calon yang bersangkutan.

Secara blak-blakan Kurnia mengatakan dua komisioner KPK yang ikut proses seleksi, Nurul GHufron dan Johanis Tanak, mestinya tidak diloloskan karena banyak pihak menilai kinerja KPK periode 2019-2024 buruk. Para komisioner KPK periode saat ini yang bertanggung jawab atas penilaian negatif terhadap KPK, tambahnya.

Dua Sidang Etik

Anggota Dewan Pengawas KPK periode 2019-2024, Albertina Ho, tidak menjawab secara langsung pertanyaan soal aspek kepantasan dua pimpinan KPK sekarang, Nurul Ghufron dan Johanis Tanak, yang kembali mencalonkan diri untuk menjadi calon pimpinan KPK periode 2024-2029. Namun dia membeberkan dua persidangan etik yang dilakukan terhadap Ghufron dan Tanak.

Bayangan gedung KPK terpantul di kaca gedung di Jakarta, 12 September 2017. (Foto: Bay Ismoyo/AFP Photo)

Ghufron saat ini masih dalam proses sidang etik dan tinggal pembacaan putusan. Sedangkan Tanak sudah divonis tidak melanggar etik meski ada perbedaan pendapat tentang hal itu. Albertina sendiri menyebut Tanak melanggar kode etik pimpinan KPK.

"Yang satu (Nurul Ghufron), kita ketahui bersama sedang dalam proses (sidang) etik. Tinggal putusan. Putusan belum bisa dibacakan karena yang bersangkutan itu dengan alasan haknya sebagai warga negara menempuh tiga upaya hukum," ujarnya.

Albertina menyebutkan ketiga upaya hukum yang sedang ditempuh Ghufron adalah melaporkan ketua dan dua anggota Dewan Pengawas KPK ke Badan Reserse dan Kriminal Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik, dan menyalahgunakan kewenangan. Ketiganya sedang diproses.

Ghufron juga menggugat Dewan Pengawas KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang putusannya akan dibacakan Selasa mendatang (20/8). Ghufron juga telah mengajukan uji materil ke Mahkamah Agung mengenai peraturan Dewan Pengawas KPK dan tinggal menunggu putusan dari Mahkamah Agung.

BACA JUGA: Perbaiki Performa KPK, ICW Minta Panitia Seleksi KPK Diisi Sosok Berintegritas

Albertina mengakui kinerja KPK makin hari kian menurun sejalan dengan beragam hasil survei dan Dewan Pengawas ikut bertanggung jawab atas hal tersebut. Oleh karena itu ia setuju dengan ICW yang menilai rekam jejak tiap calon merupakan unsur paling penting dalam proses seleksi pimpinan dan Dewan Pengawas KPK.

Seperti harapan ICW dan masyarakat luas, Albertina mengharapkan pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK terpilih nantinya memiliki integritas dan menjunjung tinggi kode etik.

Standar Etik dan Moral Tertinggi

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan publik memang menginginkan pimpinan KPK diisi oleh orang yang memiliki standar etik dan moral tertinggi.

Your browser doesn’t support HTML5

Rekam Jejak Dinilai Vital Untuk Pilih Pimpinan dan Dewas KPK

Dia menambahkan ada putusan Mahkamah Konstitusi yang dibuat khusus untuk Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Putusan itu berbunyi salah satu syaratnya menjadi pimpinan KPK adalah berumur 50 tahun atau pernah menjadi pimpinan KPK. Menurut Feri, baru Ghufron yang pernah menjadi pimpinan KPK dalam usia di bawah 50 tahun. Ketika terpilih lima tahun lalu, dia baru berumur 45 tahun.

"Jadi putusan itu khusus untuk Pak Nurul Ghufron. Sebegitunya negara membuka kesempatan, karpet merah untuk Pak Nurul dan beliau mau (maju lagi). Kalau dilihat sejarah pimpinan KPK, nggak ada yang berhasil di periode kedua dan tidak ada juga yang mau (maju untuk) periode kedua," tuturnya.

Oleh sebab itu, Feri sepakat rekam jejak penting untuk memastikan apakah KPK bekerja untuk kepentingan relasinya atau buat kepentingan bangsa dan negara. [fw/em]