Parker Liautaud berharap dapat membantu para ilmuwan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pemanasan global.
NEW YORK —
Parker Liautaud, remaja penjelajah kutub yang memecahkan rekor tahun lalu sebagai orang tercepat yang berjalan di di Kutub Selatan tanpa bantuan, mengatakan ia akan melakukan perjalanan sejauh 505 kilometer dari pesisir Antartika untuk menarik perhatian terhadap perubahan iklim.
Anak muda berusia 19 tahun asal California, AS, itu memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang oleh para penjelajah Norwegia Ottar Haldorsen dan Jacob Meland dengan perbedaan hampir empat hari ketika ia mencapai Kutub Selatan pada malam Natal, setelah 18 hari, empat jam dan 43 menit.
Pada perjalanan kembali, Liautaud melewati daratan yang berat dan menggali serta mengambil sampel-sampel sedalam dua meter yang ia harap dapat membantu para ilmuwan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pemanasan global.
Para peneliti di GNS Science, sebuah lembaga riset Selandia Baru, sedang menganalisa sampel-sampel untuk perubahan-perubahan dalam komposisi yang dapat menguak fakta mengenai kecepatan perubahan iklim di wilayah tersebut.
"Yang ingin kami lakukan adalah untuk mendapatkan kisah yang melibatkan supaya orang-orang dapat menjadi bagian dari wilayah yang secara signifikan terkena perubahan iklim," ujar Liautaud, yang telah berjalan ke Kutub Utara tiga kali.
Tidak mudah bagi remaja penjelajah yang mengabaikan infeksi pernafasan, pergelangan kaki yang bengkak dan radang dingin yang menyerang jari kaki dan tangannya untuk menyelesaikan perjalanannya.
Dengan bayangan tempat tidur hotel dan restoran burito di kepalanya, mahasiswa geologi Yale University tersebut terus bertahan.
Setiap pagi ia dan kawan seperjalanannya, penjelajah veteran Doug Stoup, melakukan laporan langsung lewat webcast dalam laman ekspedisi yang mengumpulkan para ahli iklim dan skeptik untuk berdiskusi mengenai banyak hal, mulai dari ketahanan pangan sampai perubahan dalam lapisan ozon.
"Masalahnya dengan mengkomunikasikan ilmu iklim adalah bahwa itu hal yang sangat kompleks dan penuh statistik dan bukan sesuatu yang dapat dialami di tingkat personal," ujar Liautaud.
Ia berharap ekspedisi tersebut menginformasikan dan meyakinkan populasi umum mengenai bahaya nyata dari perubahan iklim.
"Tidak ada kesadaran akan fakta bahwa ada konsensus di antara komunitas ilmiah mengenai keberadaan pemanasan global," ujarnya.
"Orang-orang tidak hanya terbagi dalam hal itu, mereka juga tidak membicarakannya. Jalan masih panjang." (Reuters)
Anak muda berusia 19 tahun asal California, AS, itu memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang oleh para penjelajah Norwegia Ottar Haldorsen dan Jacob Meland dengan perbedaan hampir empat hari ketika ia mencapai Kutub Selatan pada malam Natal, setelah 18 hari, empat jam dan 43 menit.
Pada perjalanan kembali, Liautaud melewati daratan yang berat dan menggali serta mengambil sampel-sampel sedalam dua meter yang ia harap dapat membantu para ilmuwan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pemanasan global.
Para peneliti di GNS Science, sebuah lembaga riset Selandia Baru, sedang menganalisa sampel-sampel untuk perubahan-perubahan dalam komposisi yang dapat menguak fakta mengenai kecepatan perubahan iklim di wilayah tersebut.
"Yang ingin kami lakukan adalah untuk mendapatkan kisah yang melibatkan supaya orang-orang dapat menjadi bagian dari wilayah yang secara signifikan terkena perubahan iklim," ujar Liautaud, yang telah berjalan ke Kutub Utara tiga kali.
Tidak mudah bagi remaja penjelajah yang mengabaikan infeksi pernafasan, pergelangan kaki yang bengkak dan radang dingin yang menyerang jari kaki dan tangannya untuk menyelesaikan perjalanannya.
Dengan bayangan tempat tidur hotel dan restoran burito di kepalanya, mahasiswa geologi Yale University tersebut terus bertahan.
Setiap pagi ia dan kawan seperjalanannya, penjelajah veteran Doug Stoup, melakukan laporan langsung lewat webcast dalam laman ekspedisi yang mengumpulkan para ahli iklim dan skeptik untuk berdiskusi mengenai banyak hal, mulai dari ketahanan pangan sampai perubahan dalam lapisan ozon.
"Masalahnya dengan mengkomunikasikan ilmu iklim adalah bahwa itu hal yang sangat kompleks dan penuh statistik dan bukan sesuatu yang dapat dialami di tingkat personal," ujar Liautaud.
Ia berharap ekspedisi tersebut menginformasikan dan meyakinkan populasi umum mengenai bahaya nyata dari perubahan iklim.
"Tidak ada kesadaran akan fakta bahwa ada konsensus di antara komunitas ilmiah mengenai keberadaan pemanasan global," ujarnya.
"Orang-orang tidak hanya terbagi dalam hal itu, mereka juga tidak membicarakannya. Jalan masih panjang." (Reuters)