BNPT mengatakan rencana pengeboman itu dilakukan bukan untuk membela warga Rohingya di Burma tetapi pelaku hanya ingin membuat teror.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai di kantornya, Kamis (22/8), mengatakan perencana pengeboman Kedutaan Burma di Jakarta dilakukan oleh kelompok Abu Roban.
Abu Roban alias Bambang Nangka telah tewas ketika terjadi baku tembak dengan Densus 88 Anti Teror di Batang, Kendal, Jawa Tengah, Mei lalu, tetapi anggotanya masih banyak yang belum tertangkap.
Menurut Ansyaad, Roban merupakan ketua Mujahidin Indonesia Barat, dan termasuk dalam jaringan yang sama dengan teroris di Poso. Jaringan ini juga mendalangi serangkaian aksi teror di Bima, Makassar dan Ambon serta sejumlah tempat lainnya, ujarnya.
“Satu kelompok itu kan bisa 10, 20 orang dan juga lebih , yang tertangkap lengkap buktinya saat itu dua atau tiga orang dan sisanya kemana. Mereka bukan tidur, mereka bahkan menyiapkan diri lebih besar lagi. Nah itulah mereka-mereka itulah yang saat ini bermain,” ujarnya.
Baru-baru ini Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menangkap tiga orang terduga teroris di Bekasi Timur, Jawa Barat. Seorang diantaranya diduga terlibat dalam perencanaan pengeboman di Kedutaan Besar Burma beberapa waktu lalu. Hingga kini pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan terhadap terduga teroris tersebut.
Ansyaad menilai rencana pengeboman itu dilakukan bukan untuk membela warga Rohingya di Burma tetapi pelaku hanya ingin membuat teror.
Isu Rohingya itu, tambah Ansyaad, hanya pemicu. Rohingya selalu menjadi alasan, isu paling kuat untuk melakukan aksi teror, ujarnya.
Ansyaad menambahkan jaringan teroris di Indonesia saat ini terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Meski kekuatan mereka tidak terlau besar tetapi semua pihak tetap harus mewaspadainya, tambahnya.
Kelompok-kelompok teroris ini, lanjut Ansyaad, mendapatkan senjata rakitan dari Filipina Selatan yang dimasukan secara ilegal ke Indonesia.
“Mereka menyebar menggunakan banyak nama kelompok-kelompok kecil tetapi ada benang merahnya disitu, kalau ditarik itu akan ketemu mainstream jaringan itu masih sama juga dengan jaringan yang sama. Apakah JI, JAT, NII. Kalau dilihat jaringan per jaringan senjatanya cuma satu atau dua, rakitan lagi yah , bomnya mungkin cuma kecil tetapi kalau tiap kampung ada seperti itu kan lumayan. Secara fisik jaringan ini tidak besar, kita lihat faktanya tetapi masalahnya kalau dia melakukan tidak tertangkap, tidak terungkap ini kan keresahan, ketakutan masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi mengatakan pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam program deradikalisi sangat penting untuk mementahkan proses regenerasi kelompok-kelompok radikal dan sel-sel baru jaringan teroris di sejumlah daerah di Indonesia.
“Kalau kita lihat Jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi sarang kelompok teroris. Kan jelas organisasinya Jamaah Ansharut Tauhid dan beberapa kelompok yang menjadi bagian dari kelompok radikal, sudah jelas itu,” ujarnya.
“Jadi kelompok-kelompok itu diharapkan memang diajak dialog kemudian diinjeksi dengan empat pilar, Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan dan Bhineka Tunggal Ika. Melibatkan pesantren misalnya dan juga melibatkan NU dan Muhammadiyah.”
Abu Roban alias Bambang Nangka telah tewas ketika terjadi baku tembak dengan Densus 88 Anti Teror di Batang, Kendal, Jawa Tengah, Mei lalu, tetapi anggotanya masih banyak yang belum tertangkap.
Menurut Ansyaad, Roban merupakan ketua Mujahidin Indonesia Barat, dan termasuk dalam jaringan yang sama dengan teroris di Poso. Jaringan ini juga mendalangi serangkaian aksi teror di Bima, Makassar dan Ambon serta sejumlah tempat lainnya, ujarnya.
“Satu kelompok itu kan bisa 10, 20 orang dan juga lebih , yang tertangkap lengkap buktinya saat itu dua atau tiga orang dan sisanya kemana. Mereka bukan tidur, mereka bahkan menyiapkan diri lebih besar lagi. Nah itulah mereka-mereka itulah yang saat ini bermain,” ujarnya.
Baru-baru ini Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menangkap tiga orang terduga teroris di Bekasi Timur, Jawa Barat. Seorang diantaranya diduga terlibat dalam perencanaan pengeboman di Kedutaan Besar Burma beberapa waktu lalu. Hingga kini pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan terhadap terduga teroris tersebut.
Ansyaad menilai rencana pengeboman itu dilakukan bukan untuk membela warga Rohingya di Burma tetapi pelaku hanya ingin membuat teror.
Isu Rohingya itu, tambah Ansyaad, hanya pemicu. Rohingya selalu menjadi alasan, isu paling kuat untuk melakukan aksi teror, ujarnya.
Ansyaad menambahkan jaringan teroris di Indonesia saat ini terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Meski kekuatan mereka tidak terlau besar tetapi semua pihak tetap harus mewaspadainya, tambahnya.
Kelompok-kelompok teroris ini, lanjut Ansyaad, mendapatkan senjata rakitan dari Filipina Selatan yang dimasukan secara ilegal ke Indonesia.
“Mereka menyebar menggunakan banyak nama kelompok-kelompok kecil tetapi ada benang merahnya disitu, kalau ditarik itu akan ketemu mainstream jaringan itu masih sama juga dengan jaringan yang sama. Apakah JI, JAT, NII. Kalau dilihat jaringan per jaringan senjatanya cuma satu atau dua, rakitan lagi yah , bomnya mungkin cuma kecil tetapi kalau tiap kampung ada seperti itu kan lumayan. Secara fisik jaringan ini tidak besar, kita lihat faktanya tetapi masalahnya kalau dia melakukan tidak tertangkap, tidak terungkap ini kan keresahan, ketakutan masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi mengatakan pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam program deradikalisi sangat penting untuk mementahkan proses regenerasi kelompok-kelompok radikal dan sel-sel baru jaringan teroris di sejumlah daerah di Indonesia.
“Kalau kita lihat Jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi sarang kelompok teroris. Kan jelas organisasinya Jamaah Ansharut Tauhid dan beberapa kelompok yang menjadi bagian dari kelompok radikal, sudah jelas itu,” ujarnya.
“Jadi kelompok-kelompok itu diharapkan memang diajak dialog kemudian diinjeksi dengan empat pilar, Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan dan Bhineka Tunggal Ika. Melibatkan pesantren misalnya dan juga melibatkan NU dan Muhammadiyah.”