Sekitar 10 ribu anak masih ikut berperang bersama kelompok-kelompok bersenjata di Republik Afrika Tengah, setelah lebih dari satu dekade perang sipil berakhir, pemerintah negara itu menyatakan pada Senin (12/2).
Marthe Kirima, Menteri Keluarga dan Gender, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa anak-anak masih direkrut sebagai pejuang, mata-mata, pengirim pesan, tukang masak dan bahkan digunakan sebagai budak seks. Sementara 15 ribu anak telah melarikan diri dari pasukan pemberontak, kata dia, banyak yang mengalami trauma dan kesulitan untuk kembali menjalani kehidupan normal.
Negara yang kaya bahan tambang, tetapi miskin ini telah mengalami konflik sejak 2013, ketika pemberontak yang didominasi warga muslim Seleka merebut kekuasaan dan mengusir mantan presiden Francois Bozize dari keluar dari kantornya. Mayoritas milisi Kristen kemudian melawan dan mereka juga menarget warga sipil.
PBB yang mengirimkan pasukan perdamaian ke negara itu, memperkirakan bahwa perang ini telah membunuh ribuan orang dan membuat lebih satu juta warga mengungsi, atau seperlima dari populasi negara itu. Pada 2019, sebuah kesepakatan damai dicapai antara pemerintah dan 14 kelompok bersenjata, tetapi pertikaian masih berlanjut.
PBB berupaya mencegah anak-anak agar tidak bergabung dengan kelompok bersejata dan menciptakan lingkungan yang mempermudah mereka yang telah bebas untuk berbaur kembali ke masyarakat. Lembaga ini telah memberikan program pelatihan bagi anak-anak itu untuk menjadi mekanik, tukang batu, tukang kayu atau mengambil profesi lain.
Sejumlah mantan tentara anak mengatakan kepada AP, bahwa pengalaman hidup yang mengerikan telah mendorong mereka untuk menjadi duta perdamaian.
BACA JUGA: ICC: Kejahatan Perang Baru Diduga Sedang Terjadi di Darfur“Saya memanggul senjata karena Seleka membunuh ibu dan ayahku,” ujar Arsene, yang hanya mau menyebut nama pertamanya karena situasi yang sensitif.
Dia mengatakan bahwa pemberontak Kristen telah merekrutnya ketika baru berusia 14 tahun. Setelah tiga tahun terlibat perang, dia kini berkampanye kepada anak muda agar tidak bergabung dengan kelompok pemberontak.
Ousmane, tentara anak yang lain, mengatakan bahwa bergabung dengan pemberontak telah menghancurkan hidupnya, dan juga kehidupan orang-orang di sekitarnya. “Apa yang kami alami tidak dapat dilukiskan,” kata dia.
Yayasan Dany Ngarasso, sebuah kelompok masyarakat sipil setempat, meminta pemerintah untuk mempercepat proses perdamaian untuk melindungi tentara anak ini.
“Mereka mungkin telah berperang kemarin, tetapi mereka masih bisa berkampanye untuk perdamaian hari ini,” kata Ngarasso, direktur yayasan ini. [ns/lt]