Menanggulangi TB adalah persoalan berat bagi Indonesia. Kasus TB resisten obat memperberat tugas itu, karena pengobatan lini pertama tidak lagi berdampak. Kasus resisten obat muncul, menurut Dr dr Raden Rara Diah Handayani Sp.P (K), karena kepatuhan untuk mengonsumsi obat yang rendah.
“Yang menyebabkan terjadinya resisten obat ini sangat jelas sekali, ketidakpatuhan. Jadi semakin seseorang patuh, maka akan semakin terhindar dari TB reksisten, dan dalam kasus ini didapatkan riwayat pengobatan yang tidak tuntas. Artinya ketidakpatuhan,” kata Rara, dalam diskusi memperingati Hari TB dunia, Jumat (24/3).
Sejumlah pustaka menyebut TB resisten obat merupakan perkembangan dari TBC biasa. Karena ketidakteraturan mengonsumsi obat, bakteri menjadi kebal terhadap obat tertentu, seperti bakteriosid, rimfampisin, dan isoniazid.
Rara yang juga dosen di Program Studi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, mengutip sejumlah penelitian terkait bagaimana seorang pasien TB bisa masuk dalam fase resisten obat.
Di kawasan Solo, Jawa Tengah misalnya, penelitian menyebut bahwa faktor nutrisi berperan besar, sedangkan di Yogyakarta kasus ini terkait edukasi.
“Nah ini, bagi para sejawat, siapapun tenaga kesehatan, ketika berhadapan dengan pasien TB, maka edukasi merupakan faktor yang penting, agar pasien menyelesaikan pengobatan,” tegasnya.
Faktor kedua yang cukup dominan adalah pendapatan, terutama terkait penyelesaian pengobatan yang membutuhkan biaya
Sementara di Sumatra Barat, penelitian menyimpulkan bahwa status pekerjaan menjadi faktor. Mereka yang tidak bekerja, semakin tinggi risiko untuk mengalami TB resisten obat.
Mengapa? Karena orang yang tidak bekerja akan kehilangan penghasilan. Artinya ekonomi menurunkan kepatuhan,” tambahnya.
Sementara penelitian di Bandung menempatkan kepatuhan terhadap pengobatan, faktor biaya, dan komunikasi sebagai faktor yang mendukung terjadinya kasus resistensi obat bagi penderita TB.
Tahun ini, menurut data kondisi yang meninggikan faktor risiko terkena TB adalah malnutrisi, merokok, HIV dan diabetes. Pada tahun-tahun sebelumnya, HIV berada di bawah diabetes. Artinya, kata Rara, saat ini ada peningkatan risiko bagi penderita HIV di Indonesia, untuk terkena TB.
BACA JUGA: Kasus Tuberkulosis Meningkat Setelah COVID-19Indonesia Nomor Dua
Secara global, Indonesia berada di peringkat dua dunia jumlah penderita TB setelah India. Sementara China menyusul di posisi ketiga. Penyakit menular yang menyerang paru-paru ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb).
Data global pada 2021 menunjukkan perkiraan terdapat 10,6 juta kasus TB yang terdeteksi di seluruh dunia. Sementara pada 2020, jumlah kasus tercatat 10 juta. Dari total 10,6 juta kasus, diperkirakan baru 6,4 juta atau sekitar 60,3 persen pasien yang menjalani pengobatan dan sisanya dinyatakan belum diobati. Sebanyak 6 juta penderita TB adalah pria dewasa, 3,4 juta perempuan dewasa dan sisanya terjadi pada anak-anak.
Sementara di Indonesia, data Kementerian Kesehatan menyebut jumlah kasus TB diperkirakan 969 ribu, dengan tingkat kejadian adalah 354 per 100 ribu penduduk. Indonesia juga mencatatkan 144 ribu angka kematian akibat TB. Diperkirakan resistensi obat di Indonesia terjadi pada sekitar 28 ribu kasus.
Dengan perkiraan kasus hampir satu juta, menurut pimpinan proyek Zero TB Yogyakarta (ZTBY), dr. Rina Triasih M.Med (Paed) Ph.D, tingkat deteksi kasus secara nasional belum maksimal.
“Salah satunya dikarenakan masih banyak orang yang sakit TB belum berobat ke fasilitas kesehatan. Ditambah penemuan kasus di Indonesia masih dilakukan secara pasif yang hanya menunggu pasien datang ke fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Proyek Zero TB Yogyakarta adalah upaya pendekatan komprehensif dan aktif, yaitu menemukan pasien TB, mengobati, dan mencegah penularan.
Dua kegiatan utama yang dilakukan Zero TB adalah menemukan kasus secara aktif dan inovasi pada kegiatan investigasi kontak, diikuti dengan pemberian Terapi Pencegahan TB (TPT) jangka pendek.
“Penemuan kasus TB secara aktif dilakukan dengan mendatangkan mobil rontgen ke tengah-tengah masyarakat. Mobil rontgen ini menyasar populasi berisiko tinggi TB seperti perkampungan padat penduduk atau kumuh, Lapas, asrama, panti jompo, balita, pasien HIV, dan orang-orang yang kontak dekat dengan penderita TB,” beber Rina.
BACA JUGA: Sekjen WHO: Seperti COVID-19, Dunia Butuh Vaksin TuberkulosisLangkah ini memungkinkan, karena di Yogyakarta terdapat alat rontgen portabel yang dilengkapi kemampuan kecerdasan buatan (AI) untuk membantu menginterpretasikan hasil foto.
Peningkatan Penemuan kasus
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi memperingati Hari TB sedunia mengatakan dari perkiraan 969 ribu kasus TB, upaya deteksi telah dipercepat sejak tahun lalu.
“Sepanjang 2022, melalui program active case finding, telah terdeteksi sebanyak 74 persen atau 717 ribu kasus baru. Angka ini merupakan capaian tertinggi dalam 5 tahun terakhir,” kata Budi
Pada tahun depan, pemerintah berkomitmen meningkatkan temuan kasus baru, dengan target sebanyak 90 persen atau hampir 900 ribu kasus tercatat. Hal tersebut sejalan dengan target Indonesia untuk mengeliminasi TB pada 2030.
Untuk menuju ke target itu, Budi menyatakan bahwa kementeriannya telah menyusun strategi penanggulangan TB. Langkah pencegahan dilakukan dengan imunisasi dan pemberian terapi pencegahan TB. Penyediaan sarana diagnosis TB dan promosi kesehatan juga digalakkan.
Karena itulah, Budi mendorong kolaborasi antarpemangku kepentingan, peneliti dan masyarakat, termasuk peneliti dalam upaya ini. Dia berharap, penelitian dapat dipublikasikan, baik secara nasional maupun global, sebagai peran Indonesia dalam strategi penanggulangan TB.
“Kami juga mendorong peneliti, akademisi dan industri vaksin dalam negeri, untuk mendukung transformasi ketahanan kesehatan, dengan mengembangkan vaksin TB,” tambahnya.
Aplikasi Cegah Resistensi
Tantangan Menteri Kesehatan itu, antara lain dijawab oleh dosen dan peneliti dari Fakultas Kedokteran, Keperawatan, dan Kesehatan Masyarakat (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Riris Andono Ahmad, MPH Ph.D. Dia dan rekan timnya, memanfaatkan teknologi dalam upaya mencegah timbulnya kasus TB resisten obat melalui aplikasi TOMO yang bermakna Tuberkulosis Monitoring untuk telepon pintar.
“Inovasi berupa TOMO ini untuk mendukung keberhasilan penanganan tuberkulosis resisten obat,” kata Riris.
Pengobatan TB sendiri sudah sulit, karena butuh kedisipllinan selama enam bulan. Ketika dihentikan tanpa konsultasi dengan dokter, TB resisten obat kemungkinan muncul, dan periode pengobatan bisa lebih panjang. Lamanya bisa mencapai 9-11 bulan untuk jangka pendek dan 18-24 bulan untuk jangka panjang. Padahal, ada 3-7 jenis obat yang harus dikonsumsi setiap harinya oleh pasien.
BACA JUGA: Indonesia Bekerja Keras Tanggulangi Tuberkulosis Bersama G20Karena itulah, TOMO dikembangkan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas layanan tuberkulosis resisten obat. Ada dua jenis aplikasi, yaitu TOMO bagi pasien dan keluarganya, serta TOMO CM untuk tenaga kesehatan. Keduanya memiliki peran yang berbeda.
TOMO membantu pasien mengirimkan informasi telah meminum obat, fitur pengingat otomatis minum obat, fitur menyampaikan keluhan yang dialami, dan dilengkapi informasi edukatif untuk pasien. Sementara TOMO CM mempermudah case manager dan puskesmas merespons keluhan pasien, mengatur jadwal kunjungan pasien, dan memvalidasi informasi minum obat pasien setiap harinya.
Tenaga media juga mampu mengobservasi keluhan pasien secara real time, melihat jadwal kontrol rutin pasien, serta memberikan rangkuman informasi minum obat dan keluhan pasien.
Your browser doesn’t support HTML5
Sejauh ini, aplikasi TOMO telah diterapkan di RSUD dr. Moewardi, Semarang, RSUP Surakarta, dan RS Paru Respira sejak tahun 2021. Penggunanya ada di 11 kabupaten/kota di Jawa Tengah dan DIY.
Menurut Riris, TOMO akan terus dikembangan dengan peran dari Kantor Transformasi Digital, Kemenkes dengan penyusunan Application Programming Interface. [ns/ah]