Resolusi Majelis Umum PBB Upayakan Embargo Senjata dan Demokrasi di Myanmar

Bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa di markas besar PBB di New York City, New York, AS, 24 September 2019. (Foto: REUTERS/Yana Paskova)

Majelis Umum PBB diperkirakan akan menyetujui sebuah resolusi yang menyerukan agar junta Myanmar memulihkan transisi demokrasi di negara itu dan menyerukan semua negara untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar, kata para diplomat.

Rancangan resolusi itu juga mengutuk kekerasan mematikan oleh pasukan keamanan dan menyerukan junta untuk membebaskan tanpa syarat pemimpin sipil terguling Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan semua orang yang ditahan, didakwa atau ditangkap secara sewenang-wenang.

Majelis yang beranggotakan 193 negara itu dijadwalkan akan mempertimbangkan resolusi yang memiliki lebih dari 50 negara sponsor tersebut pada Jumat (18/6) sore.

Para sponsornya berharap resolusi itu akan disetujui secara konsensus untuk mengirim pesan yang kuat kepada militer Myanmar bahwa ada oposisi global terhadap kudeta 1 Februari lalu, dan ada dukungan untuk memulihkan proses transisi demokrasi di Myanmar, meskipun negara mana pun dapat mengajukan permohonan penyelenggaraan pemungutan suara untuk resolusi itu.

Petugas militer menahan seorang pria saat protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 2 Maret 2021. Gambar diambil dari balik jendela. (Foto: Reuters)

Rancangan resolusi tersebut merupakan hasil negosiasi apa yang disebut Kelompok Inti, yang mencakup Uni Eropa, banyak negara Barat dan 10 negara anggota ASEAN. Seorang diplomat PBB mengatakan ada kesepakatan dengan ASEAN untuk mencari konsensus, tetapi apa yang akan terjadi dengan para anggota ASEAN jika ada pemungutan suara masih belum jelas.

Persetujuan terhadap resolusi itu akan menandai salah satu dari sedikit persetujuan yang pernah dikeluarkan lembaga PBB yang paling representatif itu dalam menentang kudeta militer dan menyerukan embargo senjata.

Duta Besar Kanada untuk PBB Bob Rae, seorang anggota Kelompok Inti, Kamis (17/6), mengatakan setiap orang telah bekerja keras untuk mencapai konsensus yang luas tentang naskah resolusi tersebut, dan diskusi masih berlangsung apakah resolusi itu akan disetujui melalui konsensus atau diajukan ke pemungutan suara.

BACA JUGA: Persidangan atas Tuduhan Korupsi Aung San Suu Kyi Digelar Lagi

Tidak seperti resolusi Dewan Keamanan, resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum, tetapi mencerminkan opini global. Para pendukungnya percaya, resolusi itu akan berdampak.

Rae, yang juga pernah menjabat sebagai utusan khusus Kanada untuk Myanmar, tidak percaya bangsa Myanmar dapat kembali ke isolasi masa lalunya karena orang-orang di Myanmar pernah merasakan keterbukaan, demokrasi, partisipasi, dan hak-hak sosial dan politik. “Saya kira mereka tidak ingin kehilangan itu. Dan saya kira jawabannya adalah melakukan segala yang mungkin untuk mempertahankan demokrasi,'' katanya. [ab/uh]