Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Selasa (22/2) meluncurkan program “Revitalisasi Bahasa Daerah Berbasis Sekolah dan Komunitas Tutur” untuk merespon kondisi kritis bahasa daerah di Indonesia. Dari 718 bahasa daerah di 34 provinsi, 25 bahasa daerah terancam punah, 6 dinyatakan kritis dan 11 bahasa telah punah.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan banyak bahasa daerah di Indonesia yang kondisinya terancam punah dan kritis. Penyebab utamanya karena penutur jatinya tidak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya kepada generasi berikutnya.
“Kalau tidak digunakan ya otomatis akan hilang di generasi berikutnya,” papar Nadiem Makarim dalam peluncuran virtual Merdeka Belajar Episode 17 bertema “Revitalisasi Bahasa Daerah,” Selasa (22/2). Revitalisasi bahasa merupakan upaya menciptakan bentuk dan fungsi baru terhadap suatu bahasa yang terancam punah.
Pada tahun 2022 ini, jumlah bahasa daerah yang akan menjadi objek revitalisasi mencapai 38 bahasa daerah yang tersebar di 12 provinsi, di antaranya bahasa Sentani di Papua, bahasa Toraja di Sulawesi Selatan, Bahasa Sasak di Nusa Tenggara Barat, bahasa Batak dialek Angkola di Sumatra Utara.
Sasaran dari program itu mencakup 1,5 juta siswa di 15.000 sekolah serta 29.000 guru dan 17.000 kepala sekolah, termasuk 1.491 komunitas tutur yang turut terlibat dalam penyusunan model pembelajaran bahasa daerah dan perumusan muatan lokal kebahasaan dan kesastraan.
Nadiem Makarim menjelaskan Kemendikbudristek merancang tiga model revitalisasi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bila daya hidup bahasanya masih aman dengan jumlah penutur masih banyak dan masih digunakan sebagai bahasa yang dominan di dalam masyarakat maka pewarisan dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah atau berbasis sekolah.
“Dan untuk model di mana bahasanya resiko punah itu sangat tinggi, jumlah penutur itu sangat sedikit, pendekatan kita adalah melalui komunitas dan juga pembelajaran yang menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar,” jelas Nadiem Makarim.
Your browser doesn’t support HTML5
Melalui program “Revitalisasi Bahasa Daerah Berbasis Sekolah dan Komunitas Tutur” itu diharapkan para siswa semakin bangga menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi baik secara lisan dan tulisan.
Pada akhir tahun 2022, revitalisasi bahasa daerah akan dirayakan di tingkat nasional melalui Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) yang mengusung tujuh materi kegiatan di antaranya kegiatan tembang tradisi, pidato, mendongeng serta membaca dan menulis aksara daerah.
11 Bahasa Daerah Telah Punah
Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Kemendikbudristek, Imam Budi Utomo menyatakan berdasarkan statistik Kebahasaan dan Kesastraan 2021 terdapat sebelas bahasa daerah yang sudah punah karena tidak ada lagi penuturnya. Dari 11 bahasa daerah yang punah itu, delapan merupakan bahasa daerah asal Maluku, dan tiga lainnya berasal masing-masing dari Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Selain itu terdapat 25 bahasa daerah yang terancam punah karena semua penutur berusia 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri.
“Di Indonesia terdiri atas 718 bahasa daerah, ini yang sudah dipetakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sampai dengan 2019 kemarin dari 2.560 daerah pengamatan,” papar Imam Budi Utomo dalam seminar Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Pengembangan Kamus Digital, Sabtu (19/2).
Berdasarkan persebarannya, Papua memiliki bahasa daerah terbanyak yaitu sebanyak 325 bahasa daerah, disusul Papua Barat sebanyak 103 bahasa daerah.
Menurut UNESCO, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, telah ada 200 bahasa daerah di dunia yang punah. Setiap tanggal 21 Februari dunia memperingati hari Bahasa Ibu Internasional. [yl/em]