Debora tidak dapat menyembunyikan kegugupannya sebelum menyampaikan orasi. Di tengah udara panas tengah hari kota Yogya, mahasiswa hukum itu meraih mikropon dan mulai berteriak di tengah massa.
“Apa sih pengertian demokrasi yang paling sederhana itu? Bahwa demokrasi itu pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Lalu saya mau bertanya, bagaimana pemerintahan itu bisa untuk rakyat, jika rakyat menolak RUU, tetapi masih disahkan,” teriak Debora disambut teriakan massa.
Aksi ini diklaim diikuti lebih dari 20 ribu mahasiswa dan tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak. Mereka datang dari berbagai perguruan tinggi, dan mulai bergerak dari sejumlah titik kumpul pada pukul 11.00 hari Senin. Tagar #gejayanmemanggil sendiri mulai tersebar akhir pekan lalu, dan terbukti efektif mengumpulkan mahasiswa. Mereka mengkritisi berbagai langkah pemerintah terkait UU KPK, RUU KUHP, penanganan kebakaran hutan dan lahan, kinerja DPR, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak juga disahkan, masalah Papua, hingga kekerasan yang kerap timbul antara aparat negara dan rakyat.
Sejumlah aktivis dari Feminis Yogyakarta juga berorasi di panggung. Mereka berterimakasih untuk mahasiswa yang kembali bangkit menyuarakan aspirasi rakyat. Feminis Yogyakarta menyuarakan penolakan penguasaan berlebihan negara terhadap tubuh perempuan melalui undang-undang. Sementara mahasiswa yang berasal dari Riau, mempertanyakan tindakan pemerintah yang lambat dalam bencana kebakaran hutan dan lahan.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam pernyataannya, ribuan mahasiswa ini mengusung tujuh tuntutan kepada pemerintahan Jokowi dan DPR. Mereka mendesak penundaan pengesahan dan melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.
Selanjutnya, mahasiswa juga menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja, menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi agraria mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan terakhir mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Tagar #gejayanmemanggil terkait dengan sebuah tempat bernama Gejayan di Yogyakarta. Pada 1998, seorang mahasiswa bernama Moses Gatotkaca meninggal di lokasi ini di tengah demonstrasi menuntut Soeharto turun. Namanya akhirnya diabadikan menjadi salah satu ruas jalan di kawasan tersebut. Mahasiswa seolah ingin membangkitkan kenangan masa reformasi, dengan memilih tempat itu sebagai lokasi demontrasi. Dalam catatan, ini adalah demo dengan jumlah massa terbesar pasca reformasi di Yogyakarta.
Rektor Melarang, Mahasiswa Datang
Sejumlah rektor perguruan tinggi di Yogyakarta mengeluarkan surat edaran pada Senin pagi. Tagar #gejayanmemanggil yang nampaknya menarik ribuan mahasiswa, disikapi dengan pernyataan kampus yang tidak mendukung aksi tersebut.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Sutrisna Wibawa menegaskan bahwa kampus tersebut tidak mendukung aksi dan semua yang datang menjadi tanggung jawab pribadi. Sutrisna juga menyebut, ada akun palsu di media sosial yang menggunakan namanya untuk turut menggaungkan aksi itu. Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yoyong Arfiadi juga mengeluarkan pernyataan resmi yang meminta sivitas akademika kampus itu tidak terprovokasi.
Sementara Rektor Universitas Kristen Duta Wacana, Henry Feriadi menyebut ajakan demonstrasi jalanan tidak jelas tujuan maupun pihak yang bertanggung jawab. Dia menilai, aksi tersebut rawan disusupi dan ditunggangi kepentingan politik atau maksud gelap.
Rektor Universitas Islam Indonesia bersikap lebih moderat. Dia tidak melarang mahasiswa mengikuti aksi, dan mempercayakan lembaga mahasiswa untuk bertanggung jawab mengawal aksi. “UII mendorong semua warga UII, termasuk Keluarga Mahasiswa UII untuk selalu peduli dengan permasalahan bangsa dan berikhtiar menyuarakan aspirasi melalui beragam kanal yang konstitusional,” ujar Rektor UII, Fathul Wahid.
Rektor Universitas Gadjah Mada Panut Mulyono juga menyebut tegas bahwa kampusnya tidak terlibat dalam aksi. Seluruh kegiatan akademik pada Senin (23/9) berjalan seperti biasa. “Partisipasi terhadap aksi tersebut diminta untuk tidak melibatkan UGM dalam bentuk apapun, dan segala hal yang dilakukan atas aksi tersebut menjadi tanggung jawab pribadi,” ujar Panut.
Namun, larangan mayoritas rektor itu nampaknya tidak masuk ke telinga para mahasiswa. Buktinya, mereka tetap datang dan mengosongkan kampus masing-masing sepanjang hari Senin.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM, M. Atiatul Muqtadir bahkan menyebut, surat rektor itu tidak semestinya dikeluarkan. Secara resmi lembaga mahasiswa terlibat aktif dalam persiapan aksi, dan demontrasi hari Senin tidak hanya berlangsung di Yogyakarta, tetapi di berbagai kota di Indonesia.
“Surat tersebut tidak mempengaruhi jumlah massa yang hadir. Saya sebenarnya agak menyayangkan munculnya surat tersebut karena banyak sekali dosen-dosen yang justru mendukung bahkan meliburkan kelasnya untuk memberikan ijin dan mendukung kawan-kawan untuk menyuarakan kebenaran dan perubahan di jalanan. Jadi bagi saya surat tersebut sebenarnya tidak perlu dikeluarkan,” kata kata M. Atiatul Muqtadir yang biasa dipanggil Fathur.
Seperti dikatakan Fathur, melalui akun media sosial, banyak dosen di Yogyakarta yang mendorong mahasiswanya untuk terlibat dalam aksi demo. Para dosen itu menyebut dengan jelas bahwa jika ada mahasiswa terlibat dalam aksi terkait UU KPK atau RUU KUHP, mereka diizinkan tidak masuk kuliah.
PB HMI Bersikap
Di tempat terpisah, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) juga menyuarakan keprihatinan serupa. Organisasi ini mengadakan pleno Pengurus Besar dihadiri seluruh cabang di Indonesia, pada 20-22 September 2019 di Yogyakarta. Dalam pernyataannya, Ketua Umum PB HMI, Zuhad Aji Firmantoro menegaskan, mereka tetap berkomitmen menjaga dan memperkuat amanat reformasi yang diperjuangkan oleh masyarakat sipil terutama mahasiswa.
“Semangat utama dari gerakan reformasi itu ada dua, yaitu supremasi sipil dan antikorupsi. Dalam struktur kenegaraan, kemudian semangat itu mewujud dalam bentuk undang-undang dan lembaga negara seperti KPK dan MK,” kata Zuhad.
HMI percaya, tegaknya supremasi sipil dan budaya antikorupsi yang kuat akan mewujudkan cita-cita mewujudkan keadilan sosial rakyat indonesia. Karena itulah, secara resmi HMI menolak Undang-Undang perubahan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang mengabaikan pendapat publik.
HMI juga menolak RUU Pertanahan yang dinilai belum menjawab semangat UU Pokok Agraria
untuk melawan feodalisme dan kolonialisme. Mereka juga menolak RUU KUHP yang mengancam kebebasan berekspresi, berpendapat dan terkesan tidak berpihak pada kaum rentan. [ns/uh]