Banjir mengalir deras seperti mobil yang melaju dengan kecepatan 120 kilometer per jam di beberapa tempat, melewati pucuk-pucuk pohon palem setinggi 30 meter.
Pada tanggal 11 September, sewaktu Badai Daniel melanda kota Derna di Libya timur, Hani Elbah, seorang pegawai pemerintah berusia 47 tahun, melihat banjir mendekat dan secara mental siap menghadapi ajalnya. Dia, istri dan tiga anaknya selamat, namun lebih dari dua bulan setelah banjir, pihak berwenang menghitung hampir 4.400 orang tewas dan sedikitnya 8.000 lainnya hilang, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB. Lebih dari 43.000 orang masih mengungsi.
“Banyak orang masih hidup di tengah kehancuran, dan kota ini membutuhkan prasarana, proyek perumahan, dan pasokan air,” jelasnya.
Namun sebagian besar, katanya, membutuhkan dukungan psikologis. Sulit untuk menentukan apa yang terjadi di lapangan. Kebanyakan wartawan tidak diberi izin untuk memasuki Derna segera setelah banjir terjadi, dan mereka yang bisa masuk, diusir.
Sanad Alowami, seorang relawan Bulan Sabit Merah Libya yang bekerja di Derna mengatakan, trauma ekstrim akibat banjir dapat dilihat di jalanan.
Your browser doesn’t support HTML5
Alowami mengatakan, ketika hujan turun, anak-anak berlari ke atap gedung, meminta orang yang lewat untuk datang sambil mengatakan, “banjir datang.”
Krisis kesehatan jiwa adalah salah satu kebutuhan yang paling mendesak di Derna, kata Talal Burnaz, direktur international Korps Pengobatan di Libya, namun krisis ini juga merupakan masalah yang sulit untuk diatasi. Libya kekurangan psikolog terlatih dan tidak ada budaya perawatan kesehatan jiwa. Namun trauma itu sangat mematikan, katanya, seiring dengan meningkatnya angka kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri.
“Banyak sekali orang yang selamat, seperti ribuan orang yang kehilangan anggota keluarga mereka, dan tentu saja kami membutuhkan bantuan psikologis dan kesehatan jiwa, sama seperti bantuan fisik,” katanya.
Masyarakat di daerah yang dilanda banjir juga membutuhkan bantuan fisik mendesak yang tidak terpenuhi, tambah Mary Fitzgerald, pakar Libya dari Institut Timur Tengah, sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Washington.
Derna dan wilayah sekitarnya tertutup karena perpecahan politik, dilanda perang bertahun-tahun. Daerah itu diabaikan oleh komunitas dunia dan rentan terhadap pelanggaran atau korupsi, tambah Fitzgerald. Namun krisis kesehatan mental makin bertambah, menurut Alowami dari Bulan Sabit Merah, dan banyak di antara ribuan orang yang hilang belum bisa dikenali. Mayat-mayat ditemukan sejauh 80 kilometer di lepas pantai dan banyak orang yang selamat masih terpukul jiwanya. [ps/jm]