Ribuan Pesan Harapan untuk Jokowi di Hari HAM Internasional

Masyarakat masih berharap Jokowi bisa menuntaskan kasus pelangggaran HAM berat yang terjadi di masyarakat. (Foto: ilustrasi).

Memperingati Hari HAM Internasional, 10 Desember 2019, ribuan surat dan kartu pos dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo. Masyarakat masih berharap Jokowi bisa menuntaskan kasus pelangggaran HAM berat yang terjadi di masyarakat.

Dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, 10 Desember 2019, Amnesty Internasional Indonesia membawa ribuan harapan dari masyarakat kepada Presiden Joko Widodo. Ribuan harapan itu tertuang dalam surat dan kartu pos yang ditulis masyarakat dan digalang oleh Amnesty melalui kampanye "PENA: Pesan Perubahan" mulai 17 September sampai 7 Desember 2019.

Kampanye ini memberi kesempatan kepada warga untuk bersuara tentang HAM dengan menulis surat dan kartu pos kepada pembuat kebijakan. Antusiasme masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi ternyata tinggi. Dalam waktu kurang dari tiga bulan terkumpul hampir 5.000 kartu pos dan surat dari berbagai penjuru Indonesia.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid (foto: VOA/Sasmito Madrim).

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menjelaskan, dari semua kartu pos dan surat, ada delapan fokus seruan, dengan 17,38 persen mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, 14,1 persen mendesak diakhirinya kekerasan HAM di Papua, dan 13,94 persen mendesak pencabutan aturan diskriminatif berbasis agama.

Menanggapi tingginya antusiasme publik, Usman berpendapat, sebenarnya masyarakat masih percaya dan berharap pada kapasitas negara dalam memastikan terwujudnya keadilan, khususnya dalam urusan HAM.

"Banyak juga sebenarnya yang menulis surat yang cukup menyentuh karena pernah menjadi korban pelecehan seksual, pernah menjadi korban inses di dalam rumah tangga, sampai dengan yang pernah mengalami pelecehan seksual oleh guru sekolahnya, guru privatnya. Jadi, banyak cerita yang cukup kelam tetapi juga dibalik itu jumlahnya yang diperoleh sebanyak hampir lima ribu kurang dari tiga bulan itu menunjukkan harapan yang tinggi dari masyarakat kepada pemerintah dan itu juga menunjukkan mereka ingin menaruh kepercayaan bahwa pemerintah bisa menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dan memperbaiki peraturan yang dianggap bersifat diskriminatif terhadap HAM," ujar Usman di kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (10/12).

Ia menambahkan, meskipun masih banyak pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah, ternyata melalui kampanye ini diketahui bahwa sebenarnya masyarakat masih menaruh kepercayaan bahwa di tangan Jokowi permasalahan ini akan bisa diselesaikan.

"Jadi memang ada keprihatinan atas kondisi HAM yang belum juga sesuai harapan tapi juga ada semacam kepercayaan yang masih tinggi untuk mendorong pemerintah dalam memperbaiki kondisi HAM, baik melalui perbaikan peraturan, penghapusan peraturan yang diskriminatif, sampai penyelesaian kasus pelanggaran HAM," tambah Usman.

Kartu pos dan surat ini diterima Deputi Seskab bidang Polhukam Fadlansyah Lubis.

Surat dari masyarakat yang menyuarakan tentang HAM di hari AM internasional dalam kampante "PENA" oleh Amnesty Internasional Indonesia. (Foto: VOA/Ghita)

Fadlansyah menyatakan, pemerintahan Jokowi selalu berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan menyangkut HAM. Berbagai pelanggaran HAM, kata Fadlansyah, menjadi prioritas Kemenkopolhukam untuk bisa segera diselesaikan. Nantinya, pesan ini akan menjadi tolok ukur bagi pembuat kebijakan agar ke depan, bisa membuat peraturan yang tidak diskriminatif dan tidak melanggar HAM.

"Pak Menko Polhukam memang menjadikan program atau kegiatan masalah pelanggaran HAM ini menjadi prioritas pada saat ini. Itu disampaikan beliau kepada Presiden. Kita lihat nanti pekembangannya seperti apa, kemudian juga karena fungsi kita di sekretariat kabinet itu kita melakukan monitoring, tidak hanya pelanggaran HAM, aspek tentang HAM sekarang menjadi alat ukur kita, untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan," kata Fadlansyah.

"Ke depan ada wacana soal keinginan Presiden menjadikan satu pintu institusi pembentuk peraturan perundangan-undangan. Itu sesungguhnya dilatarbelakangi salah satunya juga beliau berharap peraturan perundang-undangan ke depan itu tidak diskriminasi, kemudian juga dapat menjangkau kepentingan berbagai lapisan masyarakat, jadi persoalan HAM ini memang menjadi concern sekarang ini, tapi sekali lagi tidak hanya pada soal pelanggaran HAM, kita juga sudah masuk pada wilayah bahwa masalah HAM itu menjadi dasar atau alat ukur untuk sebuah produk peraturan perundang-undangan," lanjutnya.

Ia mencontohkan omnibuslaw yang saat ini direncanakan. Memang pemerintah memfokuskan omnibuslaw pada percepatan untuk memberi kemudahan terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan menarik investasi. Tapi ke depan, kata Fadlansyah, omnibuslaw seyogyanya dipahami bukan hanya untuk hal-hal tersebut, melainkan juga nantinya melihat hal peraturan perundang-undangan yang sudah ada sekarang, apakah ada unsur yang bertentangan dengan HAM atau tidak.

Menko Polhukam Mahfud MD saat tanya jawab dengan wartawan di Jakarta, Selasa, 5 November 2019. (Foto: VOA/Sasmito)

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, penegakan dan perlindungan HAM oleh pemerintah sudah mengalami kemajuan pesat.

Mahfud menjelaskan, pada masa lalu pelanggaran HAM berlangsung secara vertikal yaitu dari pemerintah kepada rakyat. Pada masa sekarang, pelanggaran HAM yang terjadi adalah antar rakyat.

"Jadi, pelanggaran HAM dalam arti dari negara ke rakyat sekarang tidak ada. Tinggal kejahatan antar rakyat, itu namanya kriminal. Meskipun fisiknya, wujudnya melanggar HAM, itu kriminal, sehingga harus ke pengadilan. Kalau pengacau keamanan ditindak sebagai pengacau. Kedua, kalau bicara HAM itu jangan bicara pelanggaran hukum saja," jelasnya.

"Jangan bicara penegakan hukum saja. HAM itu kan ekosod - ekonomi sosial budaya. Ini yang dilakukan pemerintah tiap hari menegakkan ekosod, membantu pendidikan, kesejahteraan, jembatan, infrastruktur, sarana prasarana. nah itu kan dulu ‘gak dipikirkan, sekarang banyak," imbuh Mahfud.

Ia menambahkan, terkait pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang masih belum tuntas, pemerintah berkomitmen segera menyelesaikan melalui Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang dibentuk untuk menyelesaikan perdebatan soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu.

"Loh masa lalu itu lah yang saya anggap pelanggaran HAM terstruktur dari atas yang ini mau diselesaikan melalui KKR, yang sisa-sisa lalu masih ada 12. yang sekarang yang baru-baru kan nggak ada," jelas Mahfud. [gi/ka]