Ribuan perempuan berkumpul di berbagai kota di Amerika Serikat dan seluruh dunia, Sabtu (19/1), untuk memperingati pawai tahunan perempuan (Women's March) yang tahun ini merupakan tahun ketiga, untuk menyuarakan antara lain isu persamaan gender dan perhatian terhadap masalah lingkungan serta hak-hak imigran.
Awal Mula Women's March
Women’s March pertama kali digelar pada 2017, sehari pasca pengambilan sumpah Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Pada hari pertama Trump di Gedung Putih, ratusan ribu perempuan memadati jalanan ibu kota AS, Washington DC, sebagai reaksi oposisi terhadap pemerintahan baru serta kebijakan-kebijakannya. Pawai perempuan pada saat itu digelar di sekitar 600 lokasi di seluruh AS dan seluruh dunia, sebagai bentuk solidaritas bagi para peserta pawai di Washington.
Peter Newsham, penjabat sementara kepala polisi di Washington saat itu, mengatakan pawai di ibu kota, “Kerumunan orang begitu padat, sampai-sampai hampir tak ada ruang tersisa untuk pawai.”
Banyak peserta pawai mengenakan topi rajutan “pussycat” berwarna pink, bermotif seperti telinga kucing, untuk menampilkan solidaritas mereka kepada untuk menunjukkan solidaritas sentimen anti-Trump dan sebagai aksi protes atas komentar-komentar vulgar Trump sebelum memasuki ranah politik.
Saat untuk Bergerak
Pada 2018, penyelenggara Women’s March berusaha untuk menggelar pawai pertama dengan berfokus pada politik dan kekuatan pemilih perempuan. Mereka mengadakan pawai kedua di Nevada, negara bagian yang diperebutkan dalam pemilu paruh waktu pada akhir tahun. Pawai tersebut menggembar-gemborkan pesan "Power to the Polls" berfokus pada pendaftaran pemilih, menampilkan aktivis dan anggota Kongres sebagai pembicara.
Seperti pada 2017, pawai ini diadakan di kota-kota di seluruh AS dan ribuan perempuan juga berpawai di London, Paris, Sydney, dan kota-kota Eropa dan Australia lainnya.
Pada 2019, panitia membawa pawai kembali ke Washington. Panitia menaruh harapan tinggi akan banyak yang ikut berpartisipasi tahun ini, terutama setelah rekor terpilihnya 102 perempuan untuk menduduki jabatan pada Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, pada semester tengah pada akhir tahun lalu.
Kontroversi yang Terus Berkembang
Beberapa perempuan terkemuka dan organisasi hak-hak sipil tidak terdapat dalam daftar mitra yang dipublikasikan di situs web Women's March.
Di antara mereka yang pernah bermitra namun hilang pada 2019, adalah organisasi hak-hak sipil "Southern Poverty Law Center" dan komite aksi politik "Emily's List". Pada Selasa malam, Komite Nasional Demokrat (Democratic National Committe) juga menarik namanya dari daftar mitra.
Kontroversi ini melingkupi beberapa pemimpin perempuan pada Maret yang dituduh memiliki pandangan rasis dan anti-Semit.
Panitia telah berulang kali menolak semua tuduhan pelanggaran atau menggunakan ucapan yang tidak pantas.
Masalah ini muncul kembali ketika dua penyelenggara pawai muncul di acara talk show ABC "The View" pada Senin (13/1) dan menolak untuk mencela pemimpin Nation of Islam Louis Farrakhan, yang telah berulang kali membuat pernyataan anti-Semit dan anti-kulit putih.
Ketika ditanya mengapa dia memposting foto Farrakhan di Instagram dengan judul yang menyertakan tagar "Greatest Of All Time" co-president Women's March, Tamika Mallory mengatakan, "Saya tidak memanggilnya 'Greatest of All Time' karena retorikanya. Saya memanggilnya demikian karena apa yang dilakukannya untuk komunitas kulit hitam. "
Co-presiden Mallory, Bob Bland, membantah tuduhan yang dicetak di "The New York Times" dan majalah Yahudi "Tablet" bahwa anggota organisasi telah menyatakan keyakinan anti-Semit pada pertemuan di balik pintu tertutup.
"Orang-orang yang berbicara dengan wartawan tidak mengatakan yang sebenarnya, titik, berhenti penuh," kata Bland. "The Women's March secara tegas mengutuk anti-Semitisme, kefanatikan, transphobia. ... Kami mengutuk pernyataan kebencian."
Maju terus
Beberapa pengunjuk rasa mengatakan mereka tidak terhalang.
"Kontroversi tersebut tentu saja mempengaruhi keputusan saya untuk hadir atau tidak. Meskipun demikian, hal tersebut tidak akan pernah menghentikan saya, malahan saya merasa penting untuk ikut hadir (dalam pawai ini)," kata Naomi Zipursky dari San Francisco, yang menghadiri pawai lokal di sana, Sabtu .
"Dengan tidak muncul (pada pawai tersebut), saya bahkan tidak membiarkan percakapan dimulai dan hanya membuat celah yang lebih besar," imbuhnya.
"Pikiran bahwa saya, sebagai seorang wanita Yahudi, tidak akan diterima atau perlu meninggalkan bagian dari identitas saya untuk menghadiri pawai itu mengecewakan dan terus terang, membuat saya menjadi terasing," kata Zipursky. “(Tapi) saya juga percaya bahwa apa yang dikatakan atau dilakukan oleh seseorang, tidak selalu mewakili apa yang bisa diperjuangkan oleh seluruh organisasi.”
Banyak peserta tidak berpikir bahwa pawai kali ini akan dapat dibandingkan dengan pawai yang pertama.
"Akan sangat sulit untuk mencabut 'momentum' dari 'Women's March' pertama," kata Mary Tablante, petugas komunikasi di Asian American Advancing Justice. “Saya masih akan ikut pawai (tahun ini) karena saya yakin mereka masih berusaha untuk memperbaikinya. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam gerakan ini. "
Terlepas dari kontroversi, pawai direncanakan di hampir setiap negara bagian AS. ABC News melaporkan beberapa negara bagian akan mengadakan banyak pawai: California berencana untuk melakukan lebih dari 30 pawai, New York 15, Texas, 13 dan Florida 11. Michigan akan menyelenggarakan delapan pawai dan Pennsylvania akan menggelar tujuh pawai.
Pawai juga direncanakan akan digelar di lebih dari selusin negara Eropa, serta di Kanada, Meksiko, Australia, Selandia Baru, Indonesia, Pakistan, Israel, Nigeria, Uganda, Zambia, dan Afrika Selatan. [es/ft]