Ricuh Soal Kendali Bank Sentral Hambat Ekspor Minyak Libya, Pasar Ketar-ketir

Gedung tempat kantor Kementerian Perminyakan dan Perusahaan Minyak Nasional Libya, tampak di Tripoli, Libya, 25 Januari 2015. (Foto: Ismail Zitouny/Reuters)

Ekspor minyak Libya nyaris terhenti karena meningkatnya ketegangan politik mengenai kendali bank sentral negara tersebut, lembaga utama yang mengelola pendapatan minyak negara. Hanya beberapa kapal yang diizinkan memuat minyak mentah dari stok yang ada.

Meskipun perjanjian baru-baru ini antara pemerintah yang bersaing di Libya timur dan barat telah meningkatkan harapan untuk kembali normal, analis industri mengatakan situasinya masih belum menentu dan tidak jelas kapan produksi akan dilanjutkan.

Pasukan yang bersekutu dengan pemimpin timur Khalifa Haftar menghentikan produksi di lapangan dan terminal minyak utama pada 26 Agustus, yang mengkibat pengurangan produksi hingga setengahnya.

Gangguan-gangguan tersebut, terutama pada ekspor ke Eropa, telah berdampak pada pasar energi global dan membuat para pekerja energi, investor, dan dunia usaha internasional ketar-ketir.

BACA JUGA: Angkut Migran Secara Ilegal, Libya Perintahkan Penangkapan Pejabat Maskapai Penerbangan

Bukan untuk pertama kalinya tahun ini, Perusahaan Minyak Nasional (National Oil Corporation/NOC) menyatakan force majeure atau keadaan kahar dan meminta pembebasan dari kewajiban kontraknya karena kejadian di luar kendalinya.

NOC sebelumnya menghentikan produksi di lapangan minyak Sharara pada 7 Januari karena berbagai demonstrasi yang menghentikan pasokan minyak mentah ke terminal Zawiya. Dua minggu kemudian, keadaan kahar dicabut dan produksi secara penuh dilanjutkan.

Tiba-tiba dan Mengejutkan

Analis senior International Crisis Group untuk Libya, Claudia Gazzzini, yang juga menjabat sebagai perwakilan khusus dan kepala Misi Dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Libya, mengatakan kepada VOA bahwa gangguan terbaru terhadap produksi minyak Libya terjadi secara tidak terduga.

“Perkembangan ini agak mendadak dan mengejutkan, terutama karena kondisi di lapangan relatif damai,” kata Gazzini. Dia mencatat bahwa selama hampir dua tahun, sebuah kesepakatan telah terjalin. Berdasarkan perjanjian itu, berbagai faksi sepakat untuk terus mengekspor dan memproduksi minyak dengan imbalan bagian dari pendapatan.

Seorang pekerja sedang bekerja di kilang di dalam kompleks minyak Brega, di Brega, bagian timur Libya, 18 Januari 2020. (Foto: Hussein Malla/AP Photo)

Menurut Gazzini, wilayah penghasil minyak di Libya sebagian besar berada di bawah kendali pasukan yang didukung oleh Haftar di timur. Sementara itu, pendapatan dari penjualan didistribusikan oleh Bank Sentral Libya, yang dikendalikan oleh pemerintah saingannya yang berbasis di Tripoli.

“Ada kesepahaman, bahkan di antara mitra asing, bahwa kesepakatan ini akan terwujud, berdasarkan keyakinan bahwa kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan dari pendapatan minyak, yang merupakan dasar dari kesepakatan tersebut. Kami tidak menyangka sistem yang ada akan runtuh begitu tiba-tiba atau perselisihan mengenai bank sentral akan muncul,” kata Gazzini.

Dia menambahkan, “Kami tidak tahu kapan perselisihan mengenai kendali bank sentral akan diselesaikan.”

BACA JUGA: Pihak-pihak yang Bersaing di Libya Desak DK PBB Dukung Gencatan Senjata

Gazzini mengatakan krisis ini dipicu ketika dewan kepresidenan di Tripoli memecat gubernur bank tersebut pada 19 Agustus. Faksi-faksi yang mendukung Haftar dan parlemen, yang mendukung gubernur yang digulingkan, membalas dengan menghentikan produksi minyak.

"Kami memperkirakan tidak ada resolusi cepat untuk menangani pertikaian ini, dan ganguan-gangguan tersebut bisa berlanjut untuk waktu yang lebih lama," kata Gazzini memperingatkan.

Kebuntuan politik mengurangi produksi minyak Libya secara signifikan hingga menyebabkan harga minyak dunia, Brent, sempat naik di atas $80 per barel, sebelum kembali stabil.

A photo shows Ras Lanuf Oil and Gas Processing Company in Ras Lanuf, Libya Oct. 19, 2019

Kesepakatan baru-baru ini antara badan legislatif Libya telah memicu harapan bahwa produksi dan ekspor akan segera kembali normal. Namun, tantangan masih tetap ada.

Kevin Morrison, seorang analis keuangan energi di Institut Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan (Institute for Energy Economics and Financial Analysis/IEEFA) di Sydney, mengatakan kepada VOA bahwa potensi penyelesaian antara faksi-faksi yang bersaing di Libya dan pemulihan produksi minyak mentah terjadi pada saat yang kritis.

BACA JUGA: Komandan Tentara Nasional Libya akan Cabut Blokade Minyak

Para anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) kini menyadari bahwa permintaan minyak China mungkin tidak sekuat yang diperkirakan sebelumnya, karena pertumbuhan ekonomi yang lebih lesu dan transisi pesat ke kendaraan listrik, kata Morrison, yang bekerja erat dengan tim minyak dan gas global di IEEFA.

Sembilan puluh delapan persen pendapatan pemerintah Libya dan 65 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara itu berasal dari minyak. Dengan produksi lebih dari 1,2 juta barel per hari, Libya menempati peringkat sebagai produsen minyak terkemuka di Afrika dan salah satu negara penghasil minyak terbesar secara global. [ft/ah]