Riset: Pemberitaan Pemilu Terjebak dalam ‘Debat Kusir’

  • Rio Tuasikal

Diskusi peran media dalam demokrasi di Paramadina Graduate School di Jakarta turut mengetengahkan mandeknya kebebasan pers di Indonesia, Kamis, 2 Mei 2019. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Pemberitaan media online terkait pemilu di Indonesia terjebak dalam debat kusir, ungkap riset dari Universitas Paramadina. Sementara liputan mengenai masyarakat sangat kecil porsinya.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa 60% dari 800 berita media online, fokus pada capres-cawapres, caleg, tim sukses, dan partai politik. Kebanyakan berita selama pemilu ini menjadi ‘ajang debat’ dan tidak membawa perubahan ke kehidupan masyarakat.

Dalam diskusi "The Role of Media in Election and Democracy” di kampus Paramadina, Kamis (2/5/2019), dosen Ilmu Komunikasi Paramadina Ika Karlina Idris mengatakan, “memang akhirnya berita media online kemarin ajang debat partai politik tim sukses.”

Tim peneliti mengumpulkan dan menganalisa 800 berita dari 7 (tujuh) media massa online. Media-media ini adalah Kompas.com, Tempo, Vivanews, Merdeka, Okezone dan Sindonews. Berita-berita ini dianalisa berdasarkan antara lain metode peliputan, pemilihan narasumber, kata kunci yang digunakan.

Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf dan nomor urut 02 Prabowo-Sandi mengucap "Deklarasi Damai Pemilu" dipimpin oleh Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta, Minggu (23/9/2018). (Courtesy: Dody Husein/KPU)

Riset ini menunjukkan, berita-berita pemilu lebih banyak bersumber dari para politikus, bukan penyelenggara pemilu. Narasumber berita pemilu didominasi aktor politik sebanyak 60,72 persen, terdiri dari kandidat (22,76%), tim sukses (19,21%), dan politisi (18,75%). Sementara KPU dan Bawaslu (8,2%), warga (4,66%), NGO (3,44%), lembaga survei (2,79%), pakar akademisi (2,29%), dan pengamat (1,95%).

BACA JUGA: Petugas Pemilu 2019, Rela Fisik Tumbang Hingga Nyawa Melayang

Banyak berita pemilu, ujar Ika, menggunakan sumber dari timses dan parpol. Padahal menurutnya berita-berita ini harusnya bersumber dari penyelenggara pemilu.

Your browser doesn’t support HTML5

Riset: Pemberitaan Pemilu Terjebak dalam ‘Debat Kusir’

“Okelah itu pemberitaannya tentang kesiapan pemilu, tapi tetap yang diwawancaranya tuh partai politiknya, tim suksesnya. Padahal kan kalau mau mengawal, tanya dong ke warga dan KPU sendiri,” terangnya kepada VOA usai diskusi.

Ditinjau dari dampaknya ke masyarakat, mayoritas berita yang diteliti tidak punya dampak langsung. Dampak ini diukur dengan melihat apakah ada tindakan yang diambil dalam tiga bulan setelah berita keluar. Meski begitu, mayoritas berita tetap memperkaya diskusi publik.

“Intinya apa ada aksi? Ternyata kan hampir semua tidak ada. jadi memang semuanya masih dalam level wacana. Apakah memperkaya (diskusi publik)? ya. Cuma ya akhirnya terjebak sama debat-debat saling tuding segala macam sih,” tambah Ph.D lulusan Ohio State University, AS, ini.

Sementara itu, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Malik Gismar, mengatakan sudah saatnya media selesai dengan sensasi pemilu dan fokus memberitakan pembangunan. Isu-isu ini antara lain kemiskinan, kesenjangan ekonomi, pendidikan, serta APBN dan APBD.

“Kinerja demokrasi itu apa? dalam mengurangi kemiskinan dan lainnya. Itu semua mestinya diangkat,” ujar Ph.D dalam psikologi sosial politik ini.

Namun, dia memahami bahwa untuk mengangkat isu-isu tadi, wartawan perlu punya kompetensi. Mereka harus dibekali kemampuan menganalisa program dan anggaran pemerintah.

“Membedah APBN itu pasti lebih sulit. Melihat programnya pemerintah itu lebih sulit daripada melaporkan atau menyiarkan yang sensasional sifatnya,” pungkasnya yang juga penasihat senior Kemitraan. [rt/em]