Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh mendesak pemerintah agar segera menyediakan akomodasi bagi ratusan pengungsi Rohingya, yang masih terkatung-katung di perairan kabupaten Bireuen, provinsi Aceh. Koordinator KontraS, Azharul Husna, mengatakan, belum ada keputusan tentang lokasi yang bisa digunakan untuk mengakomodasi ratusan pengungsi ini.
“Pemerintah pusat sudah mengatakan pemda bisa menunjuk tempat. Namun sampai hari ini belum ada. Kami meminta kepada pemerintah di Aceh untuk menunjuk akomodasi untuk pengungsi Rohingya dengan segera,” kata Husna, Selasa (21/11).
Husna menduga ada upaya pemerintah untuk membiarkan ratusan pengungsi Rohingya kembali ke laut, setelah sebelumnya mereka ingin berlabuh di Bireuen.
“Jika hal ini terjadi, tentu menjadi preseden buruk terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam catatan KontraS Aceh saat ini, jumlah pengungsi Rohingya di daerah berjuluk Serambi Makkah ini mencapai 1.041 orang. Terjadi peningkatan berarti dalam gelombang kedatangan pengungsi Rohingya pada medio November 2023.
Pada 14 hingga 16 November 2023, tercatat ada tiga gelombang kedatangan ratusan pengungsi Rohingya yang tiba di perairan Aceh tepatnya di kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen. Namun rombongan ratusan pengungsi Rohingya yang tiba di Bireuen ditolak untuk berlabuh. Belum ditemukan jalan keluar untuk permasalahan penolakan ini.
Pada 19 November 2023, lagi-lagi Aceh kedatangan ratusan pengungsi Rohingya di tiga lokasi, yaitu Pidie, Aceh Timur, dan Bireuen. Khusus untuk kapal yang hendak merapat di Bireuen, diduga merupakan kapal pengungsi yang sebelumnya telah ditolak untuk berlabuh. Selama ditolak berlabuh mereka terus berada di perairan Bireuen.
“Dalam hitungan kami, sudah lebih dari 30 kali pendaratan pengungsi Rohingya di Aceh. Diharapkan ada rujukan penanganan pengungsi Rohingya yang cukup komprehensif,” tambah Husna.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan Indonesia bisa mengambil peran yang sangat besar dalam memajukan hak asasi manusia (HAM) tingkat dunia termasuk kepemimpinannya di kawasan Asia Tenggara jika menerima para pengungsi Rohingya tersebut.
"Saya kira Indonesia berpotensi besar bisa mengambil peran untuk menjadi salah satu negara yang menyambut para pengungsi atas nama kewajiban universal HAM,” kata Usman.
Indonesia memang bukan negara yang meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi. Namun menurut Usman, Indonesia telah meluncurkan berbagai rencana aksi nasional, untuk memajukan dan melindungi HAM dengan meratifikasi berbagai konvensi internasional.
“Di antara konvensi-konvensi itu, banyak memberikan kewajiban kepada pemerintah Indonesia untuk menghormati para pencari suaka atau yang menjadi pengungsi,” ujarnya.
Usman menilai permasalahan yang dihadapi para pengungsi Rohingya adalah persoalan kemanusiaan. Maka penanganan yang dilakukan juga harus dengan cara mengedepankan hak-hak kemanusiaan.
“Kalau Indonesia sungguh-sungguh mau ambil kepemimpinan di Asia Tenggara. Memastikan bahwa lima poin konsensus yang Indonesia prakarsai di dalam pertemuan tingkat tinggi di Asia Tenggara benar-benar diterapkan pelaksanaannya,” tandas Usman. [aa/ns]