Rolls-Royce mengatakan telah meneruskan informasi ke pihak berwajib terkait penyuapan dan korupsi yang melibatkan para perantara di pasar-pasar luar negeri.
LONDON —
Grup penerbangan antariksa dan pertahanan Rolls-Royce mengatakan kantor yang mengurusi kasus-kasus penipun di Inggris, SFO, telah meluncurkan penyelidikan formal terkait keprihatinan-keprihatinan yang muncul setahun lalu mengenai penyuapan dan korupsi di China dan Indonesia.
Rolls-Royce, pembuat pesawat kedua terbesar di dunia, mengatakan Desember lalu bahwa perusahaan itu telah meneruskan informasi ke SFO terkait penyuapan dan korupsi yang melibatkan para perantara di pasar-pasar luar negeri.
Rolls-Royce mengatakan saat itu mereka dapat menghadapi hukuman karena tuduhan-tuduhan tersebut.
"Kami telah mendapat informasi dari kantor SFO bahwa mereka sekarang telah memulai investigasi resmi untuk isu-isu ini,” ujar Rolls-Royce, Senin (23/12).
SFO telah mempelajari penemuan-penemuan dari penyelidikan internal Rolls-Royce sejak awal tahun ini.
Tommy Soeharto, putra bungsu mantan presiden Soeharto, pada November menyangkal tuduhan-tuduhan bahwa ia menerima suap dari Rolls-Royce.
Seorang sumber yang memahami masalah ini mengatakan Desember lalu bahwa dugaan-dugaan itu terkait pada “masa lalu yang jauh.”
Hal itu menandakan bahwa tindak-tindak pidana tidak akan ada di bawah Undang-Undang Penyuapan Inggris, yang berlaku mulai Juli 2011. Aturan yang lebih keras ini memperkenalkan tindak pidana kegagalan mencegah penyuapan, dan melarang “pembayaran pemfasilitasian” dan biaya ramah tamah yang tidak proporsional untuk melancarkan usaha.
Rolls-Royce mengatakan pada Januari bahwa pengacaranya David Gold, akan memimpin penilaian atas prosedur kepatuhan setelah tuduhan muncul.
Tuduhan-tuduhan korupsi bukan hal yang baru dalam industri pertahanan dan kedirgantaraan, di mana perusahaan-perusahaan umumnya menggunakan individu-individu atau perusahaan sebagai perantara di negara-negara tempat mereka tidak memiliki keberadaan yang besar.
BAE Systems, perusahaan pertahanan terbesar Eropa, didenda US$450 juta oleh Amerika Serikat dan Inggris pada 2010, menyusul investigasi panjang mengenai korupsi di dalam dan luar negeri terkait kontrak-kontrak pertahanan di Arab Saudi, Tanzania, Swedia, Ceko dan Hongaria. (Reuters)
Rolls-Royce, pembuat pesawat kedua terbesar di dunia, mengatakan Desember lalu bahwa perusahaan itu telah meneruskan informasi ke SFO terkait penyuapan dan korupsi yang melibatkan para perantara di pasar-pasar luar negeri.
Rolls-Royce mengatakan saat itu mereka dapat menghadapi hukuman karena tuduhan-tuduhan tersebut.
"Kami telah mendapat informasi dari kantor SFO bahwa mereka sekarang telah memulai investigasi resmi untuk isu-isu ini,” ujar Rolls-Royce, Senin (23/12).
SFO telah mempelajari penemuan-penemuan dari penyelidikan internal Rolls-Royce sejak awal tahun ini.
Tommy Soeharto, putra bungsu mantan presiden Soeharto, pada November menyangkal tuduhan-tuduhan bahwa ia menerima suap dari Rolls-Royce.
Seorang sumber yang memahami masalah ini mengatakan Desember lalu bahwa dugaan-dugaan itu terkait pada “masa lalu yang jauh.”
Hal itu menandakan bahwa tindak-tindak pidana tidak akan ada di bawah Undang-Undang Penyuapan Inggris, yang berlaku mulai Juli 2011. Aturan yang lebih keras ini memperkenalkan tindak pidana kegagalan mencegah penyuapan, dan melarang “pembayaran pemfasilitasian” dan biaya ramah tamah yang tidak proporsional untuk melancarkan usaha.
Rolls-Royce mengatakan pada Januari bahwa pengacaranya David Gold, akan memimpin penilaian atas prosedur kepatuhan setelah tuduhan muncul.
Tuduhan-tuduhan korupsi bukan hal yang baru dalam industri pertahanan dan kedirgantaraan, di mana perusahaan-perusahaan umumnya menggunakan individu-individu atau perusahaan sebagai perantara di negara-negara tempat mereka tidak memiliki keberadaan yang besar.
BAE Systems, perusahaan pertahanan terbesar Eropa, didenda US$450 juta oleh Amerika Serikat dan Inggris pada 2010, menyusul investigasi panjang mengenai korupsi di dalam dan luar negeri terkait kontrak-kontrak pertahanan di Arab Saudi, Tanzania, Swedia, Ceko dan Hongaria. (Reuters)