Dokter dan perawat dari sejumlah rumah sakit di Yogyakarta menggelar pertemuan daring bersama Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ada 22 rumah sakit terlibat dalam pertemuan yang diselenggarakan Rabu (8/4) ini. Sejumlah isu dibicarakan, namun ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD), kecepatan pemeriksaan sample dan skema rujukan rumah sakit menjadi tema dominan.
Munawar Gani, dokter spesialis paru di RSUP dr Sardjito mengawali curahan hati tenaga kesehatan kepada Sultan, terkait ketersediaan APD. Sejak awal, isu ini memang dominan karena diduga akibat minimnya APD, banyak dokter dan perawat yang ikut tertular ketika melayani pasien.
“Bagi kami tenaga medis, kasus inikan kasus yang infeksius. Tentunya, untuk tenaga medis maupun paramedis, juga ada resiko tertular. Sehingga kami mengharap sekali adanya jaminan APD untuk kami. APD tentunya ya semua, coverall, masker, google dan handscoone. Kalau sampai ini tidak ada jaminan atau kekurangan, tentunya kami untuk merawat akan menjadi was-was,” ujar Gani.
Your browser doesn’t support HTML5
Gani juga mengungkap persoalan terkait alat diagnostik, baik PCR maupun rapid test. Para dokter mengharapkan adanya ketersediaan untuk penanganan. Sebelum ini, pernah terjadi keterlambatan diagnostik yang sangat mengganggu alur layanan pasien. Jika pemeriksaan berjalan lancar, dokter akan cepat memindahkan pasien negatif sehingga ruang isolasi dapat dipakai mereka yang benar-benar membutuhkan.
Sementara itu, dr Handoyo, anggota Tim Tangap Bencana Covid 19 RSUP Sarjito, mengungkap persoalan prosedur pemakaman pasien terinfeksi virus corona yang meninggal.
“Masih ada beberapa yang belum bisa terakomodir sehingga pemakaman berjalan dengan lancar, terkait dengan tempat pemakaman, terkait petugas pemadaman, dan APD petugas bila diperlukan,” ujarnya.
Dr Bagus Nugroho, dokter paru di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta memaparkan kondisi mereka yang memiliki keterbatasan ruang isolasi. Saat ini, RS Panti Rapih merawat total 24 pasien, dengan enam diantaranya terkonfirmasi positif. Dari enam pasien positif itu, tiga diantara mereka adalah karyawan rumah sakit itu sendiri yang tertular dari pasien.
“Jumlah pasien itu sudah maksimal untuk di tempat kami. Jadi seandainya ditambah lagi, ada pasien baru, kita kesulitan untuk menempatkan. Selama ini memang kita kesulitan untuk merujuk pasien karena kapasitas kami yang terbatas, itupun sudah termasuk tiga pasien di ICU dari yang 24 itu,” kata Bagus.
Lambatnya hasil pemeriksaan usap tenggorokan pasien terindikasi virus corona juga menjadi masalah bagi dokter di RS Panti Rapih. Bagus memaparkan, di awal pandemik ini, mereka masih menerima hasil uji lab dalam jangka waktu satu pekan. Saat ini, menurut data yang mereka catat, hasil baru keluar setelah hampir dua pekan.
“Itu membuat tenaga medis dan juga terutama pasien sering bertanya-tanya terus. Karena mereka merasa sudah jenuh atau bosan dirawat. Itu merupakan kendala juga bagi kami yang agak kesulitan memberi jawaban memuaskan kepada pasien atau keluarganya,” tambah Bagus.
Harun, seorang perawat yang mengikuti pertemuan daring bersama Sultan ini berbagi cerita tentang sulitnya mencari rumah sakit rujukan. Harun mengaku, untuk memindahkan pasien, dirinya harus mencari rumah sakit yang memiliki ruang. Sistem yang dibangun selama ini belum bisa mempermudah proses itu. Buktinya, dia harus menelpon ke berbagai rumah sakit dan kadang hasilnya nihil.
“Bisa tujuh sampai delapan jam baru kita dapat konfirmasi, dan terkadang kebanyakan jawabannya juga sudah penuh,” ujar Harun.
Menurut data, ada 26 rumah sakit telah disiapkan untuk menerima pasien virus corona di DIY. Namun kisah Harun ini membuktikan, jumlah itu tidak menjadi jaminan pelayanan yang lebih baik.
Selama ini, pengujian sampel terkait virus corona di DIY dan Jawa Tengah dilakukan oleh Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta. Kepala lembaga ini, Irene kepada VOA mengatakan, mereka tetap bekerja pada Sabtu dan Minggu untuk memeriksa sample. Namun, karena antrian yang panjang, sampel harus menunggu cukup lama.
“Mulai minggu ini sudah aktif juga laboratorium di RSUP dr. Sardjito dan RSA UGM untuk melakukan pemeriksaan. Mudah-mudahan lebih cepat dan antrian segera terurai,” ujar Irene.
Secara detil, Irene memaparkan apa yang mereka lakukan untuk pemeriksaan sampel. Untuk membuka, penomoran dan allocate sample membutuhkan waktu satu jam. Setelah itu, ekstraksi 2-3 jam untuk setiap 20 sample per BSC (biosafety cabinet). Sambil ekstraksi itu, dilakukan reagen mixing. Setelah di campur satu kali alat dijalankan bisa memuat 29 sampel. Karena harus disertai kontrol negatif dan positif, proses ini membutuh waktu sekitar 2-3 jam.
“Jadi total satu kali running adalah 6-8 jam. Sepanjang primer dan reagen ada dan tetap, maka bisa lebih cepat. Tapi jika antriannya 400-an, ya kita enggak bisa cepat,” tambah Irene.
Irene memastikan bahwa mereka memahami rumah sakit membutuhkan hasil yang cepat. Dia berharap semua akan lebih baik pekan ini, karena tambahan dua laboratorium untuk wilayah DIY.
Your browser doesn’t support HTML5
Sultan sendiri, atas nama pemerintah daerah, menyampaikan rasa terimakasih kepada seluruh tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan virus corona. Dia juga berharap, sepanjang menjalankan tugas, para tenaga kesehatan dapat menjaga diri sehingga tidak tertular virus.
Terkait APD, Sultan menjelaskan ada stok yang akan segera dikirimkan. Pemeriksaan sampel diharapkan juga akan lebih cepat, karena adanya tambahan dua laboratorium mulai pekan ini. Sementara mekanisme rujukan akan dibicarakan lebih jauh untuk mencari jalan keluarnya.
“Saat ini, dari 26 RS Rujukan pasien COVID-19, baru 50 persen yang digunakan, jadi sementara masih mencukupi. Kami akan bahas kembali supaya bisa diketahui duduk permasalahannya,” ungkap Sultan. [ns/ab]