Sementara situasi yang sedang berlangsung di Ukraina menjadi fokus dunia, secara diam-diam Rusia telah membangun kembali hubungan dengan Afrika dengan memperkuat kerja sama ekonomi dan militer di benua itu. Langkah tersebut meningkatkan kekhawatiran negara-negara Barat tentang taktik dan tujuan Rusia di benua itu.
Bendera Rusia dikibarkan di ibu kota Burkina Faso setelah kudeta militer Januari lalu di negara Afrika Barat itu.
Sebuah patung yang diresmikan di Republik Afrika Tengah musim gugur lalu menunjukkan tentara nasional yang didukung oleh tentara Rusia melindungi warga sipil di negara itu.
Bendera dan patung itu merupakan simbol yang lebih jelas dari kebangkitan kembali kehadiran Rusia di benua Afrika.
Pada 2019, dalam KTT Rusia-Afrika pertama para pemimpin politik dan bisnis, Presiden Rusia Vladimir Putin memperjelas bahwa Afrika adalah prioritas Rusia.
“Ada kesepakatan dalam KTT untuk membuat mekanisme baru bagi dialog dalam bentuk kemitraan Rusia-Afrika,” ujar Putin.
KTT kedua direncanakan di St. Petersburg pada bulan Oktober mendatang. KTT pertama, di Sochi, menghasilkan perjanjian diplomatik dan kesepakatan bernilai miliaran dolar untuk senjata, pertanian, energi, dan lainnya, kata penyelenggara KTT itu, Roscongress Foundation.
BACA JUGA: Rusia Perpanjang Latihan di Belarus, Penembakan Berlanjut di UkrainaDalam beberapa tahun terakhir Rusia menawarkan kerja sama tanpa apa yang dikatakan Putin sebagai “pertimbangan politik atau lainnya” yang dipaksakan oleh negara-negara Barat, seperti dijelaskan oleh Maxim Matusevich dari Universitas Seton Hall di New Jersey.
“Rusia memberikan, seperti yang dilakukan Uni Soviet sebelumnya, sebuah visi alternatif untuk negara-negara Afrika. Dan jika ada satu ciri umum atau kesamaan antara apa yang dilakukan Rusia sekarang dan apa yang dulu dilakukan Soviet, maka itu adalah kritik anti-Barat,” katanya.
Penyebaran ekstremisme Islam militan dan kekerasan lainnya di Afrika telah menciptakan lebih banyak celah bagi militer Rusia, seperti di Mali, dan demikian pula rencana penarikan pasukan oleh Prancis, yang pernah menjadi penguasa kolonial di Mali dan mitra dalam perang melawan jihadis selama hampir satu dekade.
Kontraktor militer swasta juga ikut memajukan agenda Moskow di Afrika, kata para pengamat Barat.
Mereka termasuk tentara bayaran di Grup Wagner yang diduga dikendalikan oleh rekan Putin, Yevgeny Prigozhin.
Putin telah membantah memiliki hubungan dengan kelompok itu. “Ini bukan negara.… Ini adalah bisnis swasta dengan kepentingan pribadi yang terkait dengan penggalian sumber daya energi, dan berbagai sumber daya seperti emas atau batu mulia.”
Your browser doesn’t support HTML5
Tetapi para ahli mengatakan apa pun tujuannya, hasilnya adalah di mana kelompok Wagner muncul, di situ akan muncul masalah, seperti diungkapkan oleh Joseph Siegle dari Pusat Studi Strategis Afrika.
“Di setiap tempat yang kami amati di mana Wagner dikerahkan di seluruh dunia dan di Afrika – baik itu Libya, Sudan, Mozambik, Republik Afrika Tengah – kelompok itu telah menjadi kekuatan destabilisasi,” kata Siegle.
Joseph Siegle mengatakan tentara bayaran adalah bagian dari alat Moskow untuk menopang para pemimpin Afrika yang lemah dengan imbalan keuntungan ekonomi atau lainnya. Mereka membantu elit, bukan warga biasa.
Kembali Joseph Siegle dari Pusat Studi Strategis Afrika. “Apa yang telah dilakukan Rusia itu mengerahkan tentara bayaran, disinformasi, campur tangan pemilu, kesepakatan senjata dengan imbalan sumber daya, dan kontrak yang tidak jelas.”
PBB sedang menyelidiki laporan pelanggaran “berat” hak asasi manusia di Republik Afrika Tengah, yang diduga dilakukan oleh personel militer swasta.
Di Mali, para pemimpin kudeta militer 2020 telah membawa pelatih militer Rusia – dan apa yang dikatakan otoritas Amerika dan Prancis adalah tentara bayaran Wagner.
Sebagian warga di Mali menyambut mereka dengan mengibarkan bendera Rusia, yang mencerminkan tidak hanya hubungan bersejarah negara itu dengan bekas Uni Soviet itu, tetapi juga ketidaksabaran publik atas keadaan tidak aman yang berkelanjutan.
Mengenai reaksi rakyat terhadap kehadiran pasukan asing, Niagale Bagayoko, ketua Jaringan Sektor Keamanan Afrika, menyampaikan pendapatnya.
“Pada tahun 2013, seluruh penduduk Mali merasa antusias ketika Prancis tiba di negara itu, dan kita dapat melihat hari ini rakyat menolak kehadiran mereka. Sejujurnya, saya tidak akan terlalu terkejut jika, dalam dua tahun atau lebih, hal yang sama bisa terjadi dengan kehadiran Rusia,” ujarnya.
Niagale Bagayoko, yang memimpin Jaringan Sektor Keamanan Afrika, mengatakan negara-negara Afrika menunjukkan kesediaan untuk menerima lebih dari satu mitra asing.
Rusia bukan satu-satunya pemerintah asing yang mencoba memperluas pengaruh di Afrika, yang memiliki sumber daya alam yang besar dan populasi muda yang jumlahnya meningkat pesat. Gedung Putih merencanakan KTT AS-Afrika kedua akhir tahun ini.
Sementara itu, Uni Eropa telah mengumumkan investasi baru senilai $172 juta untuk infrastruktur guna menandingi inisiatif "Sabuk dan Jalan" China.
China telah menjadi mitra ekonomi terbesar Afrika setidaknya selama satu dekade. [lt/jm]