RUU P-KS Didorong Rampung 2020, Apakah Mungkin?

  • Rio Tuasikal

Ratusan orang, perempuan dan laki-laki dari berbagai kelompok, turun ke jalan-jalan protokol di Jakarta mendesak pengesahan RUU P-KS, 8 Desember 2018. (Foto dok.: VOA/Rio Tuasikal)

Kelompok sipil mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. Mereka berharap beleid ini segera disahkan melawan berbagai tudingan miring.

Dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi VIII, Selasa (12/11/2019), kelompok sipil meminta RUU itu masuk prolegnas prioritas 2020 serta dibahas di tingkat panitia khusus (pansus). Sebelumnya RUU itu hanya dibahas di Komisi VIII yang membidangi perempuan, anak, sosial, dan agama.

Ratna Batara Munti dari Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) juga meminta anggota dewan mengesahkan RUU itu tanpa menunggu rampungnya revisi UU KUHP.

“Sangat-sangat urgent untuk segera disahkan. Mengingat korban juga sudah banyak berjatuhan. Dan memang tidak mungkin KUHP menyelesaikan persoalan PKS ini, perlu UU khusus nggak bisa hanya KUHP,” ujarnya usai diskusi mengenai RUU P-KS di Jakarta, Kamis (21/11/2019) sore.

JKP3 mencatat, selama tiga tahun pembahasan alot RUU ini, sudah ada 11.000 korban baru kekerasan seksual. Artinya rata-rata 10 orang jadi korban setiap hari.

BACA JUGA: Aktivis Desak Pengesahan RUU P-KS Demi Kepastian Hukum dan Perlindungan Kelompok Rentan

Permintaan serupa juga dilayangkan Komnas Perempuan. Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali meminta anggota DPR yang baru langsung menerima limpahan (carry over) RUU P-KS yang dibahas DPR periode sebelumnya.

“Karena ini urgent ini kita sudah menunda terlalu lama sehingga korban ini nggak bisa tertangani lagi,” ujarnya kepada VOA dalam kesempatan yang sama.

Khariroh mengatakan, suasana RDPU di Komisi VIII itu cukup positif. Pimpinan komisi pun sepakat memasukkan RUU P-KS sebagai salah satu agenda prioritas ke badan legislasi (baleg).

Sekarang saatnya mengawal komitmen parlemen itu, ujar Khariroh. “Kadang-kadang komitmen ada. Tapi tiba-tiba on the final day kendor. Itu yang kita nggak mau. Maksudnya kemarin komitmennya ada, itu yang harus dipantau lagj,” tambah dia.

Kiri ke kanan: Ratna Batara Munti (JKP3), Khariroh Ali (Komnas Perempuan), Natasya Kusumawardani (YABL), dan Diovio Alfath (Sandya Institute), dalam konferensi pers usai diskusi mengenai RUU P-KS di Jakarta (21/11/2019). (VOA/Rio Tuasikal)

Penolakan dari Partai Keadilan Sejahtera

Pengesahan RUU P-KS di Senayan itu secara terang-terangan ditolak oleh Partai Keadilan Sejahtera. Partai ini menganggap rancangan produk hukum itu tidak sejalan dengan nilai-nilai Indonesia. Pandangan ini juga disuarakan beberapa individu seperti Maimon Herawati, yang sebelumnya menolak iklan girlband Korea, BlackPink, di televisi.

Kelompok ini menganggap RUU PKS akan melegalkan hubungan seks di luar nikah dan aborsi. Padahal tidak ada satu pun pasal dalam RUU ini yang mengatur dua hal tersebut. Ada pun dua hal tersebut sudah diatur terpisah masing-masing dalam UU Perkawinan dan UU Kesehatan.

BACA JUGA: DPR Tak Serius, RUU PKS Jadi Sekedar Mimpi?

Ratna mengatakan, kelompok tersebut sangat ingin memasukkan moral versi mereka ke dalam sistem pidana. Padahal tidak semua urusan moral harus masuk ranah hukum.

“Kita punya konstitusi dan semua punya kedudukan yang sama di muka hukum. Sehingga tidak boleh ada satu pandangan memaksa yang ingin mengatur semua cara perilaku dan tingkah laku yang sesuai dengan ideologi mereka. Tidak bisa seperti itu,” tuturnya lagi.

RUU Dinilai Sudah Sejalan dengan Budaya, Agama, dan Pancasila

Sementara itu, Natasya Kusumawardani dari Youth Action Beyond Limitation (YABL) mengatakan banyak orang menolak RUU ini tanpa memahami kesetaraan gender. Padahal hal tersebut juga diajarkan dalam agama.

“Dalam konteks agama pun sudah diajarkan bahwa agama itu menghormati perempuan. Itu dalam konteks gender. Feminisme itu bukan nilai-nilai Barat tapi sudah ada dalam agama dan Pancasila itu sendiri,” pungkasnya.

BACA JUGA: Masyarakat Masih Terkecoh Berita Bohong Soal RUU P-KS

Senada, Diovio Alfath dari Sandya Institute menekankan bahwa RUU P-KS sudah sejalan dengan nilai-nilai Indonesia. Sebab sudah dari dulu pelaku kekerasan seksual mendapat sanksi sosial.

“Mulai dari paling rendah sanksi sosial bahkan dari hukum adat. Nah yang dilakukan oleh RUU P-KS ini adalah memformalkan hal-hal tersebut agar masuk ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia,” terangnya kepada wartawan.

Your browser doesn’t support HTML5

RUU P-KS Didorong Rampung 2020, Apakah Mungkin?


Diovio menambahkan, UU ini berupaya menciptakan keadilan dan menjaga martabat para korban kekerasan seksual. Hal itu senada dengan sila kedua Pancasila ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’.

“Harus ada intervensi yang serius dari pemerintah. Agar bisa diadili pelakunya dan korban-korban ini hak-hak keadilannya terpenuhi,” tegasnya.(rt/em)