RUU Pertahanan AS Hapus Aturan Wajib Vaksinasi COVID-19 Bagi Tentara

Seorang anggota Tentara AS menerima dosis pertama vaksin COVID-19 Pfizer di markas tentara Lewis-McChord di negara bagian Washington, pada 16 Desember 2020. (Foto: AP/Ted S. Warren)

Kongres Amerika Serikat mengarahkan Pentagon untuk mencabut kewajiban vaksinasi COVID-19 seiring lolosnya Rancangan Undang-undang Anggaran Pertahanan AS 2023 senilai $858 miliar (sekitar Rp13.400 triliun) di Senat AS pada Kamis (15/12).

Kewajiban vaksinasi, yang diakui Pentagon menyebabkan pemberhentian 8.000 tentara yang menolak patuh, itu dibatalkan meskipun terdapat keberatan dari Presiden AS Joe Biden dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin. Penghapusan amanat itu menjadi sebuah kemenangan bagi Partai Republik yang memang berusaha mengakhirinya.

BACA JUGA: Perawat Inggris Lakukan Pemogokan Nasional Pertama Terkait Sengketa Gaji

Meskipun berbagai pembatasan lain untuk meredam penyebaran COVID-19 telah lebih dahulu dilonggarkan atau bahkan dicabut, persyaratan vaksinasi Pentagon bagi tentara masih dipertahankan dengan alasan untuk melindungi kesehatan dan kesiapan personel militer.

Namun Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA) untuk tahun fiskal 2023, yang sebelumnya telah disetujui DPR AS dan masih harus ditandatangani Biden, kini mewajibkan menteri pertahanan untuk mengakhiri amanat tersebut.

Gedung Putih mendukung Austin yang menentang penghapusan amanat tersebut, namun keberatan itu tidak berhasil mengubah pikiran Kongres.

Partai Republik, yang bersikeras menyatakan bahwa berbagai aturan pembatasan COVID-19 itu melanggar kebebasan pribadi masyarakat, mendorong penghapusan amanat tersebut dan mengancam akan menahan RUU itu jika kewajiban vaksinasi tentara masih dipertahankan.

BACA JUGA: AS Umumkan “Rencana Kesiapsiagaan” Hadapi COVID-19 Saat Musim Dingin

Sekelompok senator Partai Republik menyerukan dalam sebuah surat pada akhir November lalu agar amanat vaksinasi itu dicabut dan agar para tentara yang dibebastugaskan untuk kembali diaktifkan.

Amanat itu telah “merusak mata pencaharian orang-orang yang telah mengabdi kepada negara kita dengan terhormat,” tulis mereka, sambil menyatakan bahwa memberhentikan tentara dari pasukan militer di kala perekrutan sulit dilakukan merupakan hal yang merugikan. [rd/rs]