Setiap membaca berita mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) benak kita akan tertuju pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, ada lembaga lain yang lebih rajin melakukan OTT, karena dalam lima tahun usianya, mereka mencatatkan angka hampir 44 ribu penindakan.
Lembaga itu adalah Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada akhir 2016. Menurut Kepala Satgas ini, Komjen. Pol. Drs. Agung Budi Maryoto, M.Si, pada periode Oktober 2016 hingga Agustus 2021, mereka telah menerima 37.854 laporan atau aduan masyarakat.
“Operasi Tangkap Tangan atau OTT sebanyak 43.953 kegiatan, dengan tersangka sebanyak 62.375 orang. Melakukan kegiatan intelejen sebanyak 63.483 kegiatan. Melaksanakan yustisi sebanyak 6.838 kegiatan, dengan barang bukti OTT di seluruh Indonesia, sebanyak Rp 325. 019. 446.521,” kata Agung, Jumat (24/9) di Yogyakarta.
Pungli memang akrab bagi masyarakat. Definisi sederhana Pungli adalah permintaan uang dari seseorang, pegawai negeri atau pejabat negara yang tidak sesuai peraturan. Biasanya, Pungli dilakukan dengan janji untuk mempermudah urusan birokrasi yang tidak sederhana. Namun, bisa juga Pungli terjadi sebagai upaya pemerasan dari aparatur negara, dari berbagai tingkatan, dengan memanfaatkan kekuasaannya.
Agung menyatakan, Pungli mengakibatkan biaya ekonomi tinggi, menghambat pembangunan dan merugikan masyarakat. Untuk memberantasnya, tantangan yang dihadapi cukup besar.
“Sehingga perlu inovasi untuk mewujudkan upaya pemberantasan Pungli, antara lain menerapkan kebijakan implementasi model kota tanpa Pungli, yang merupakan salah satu strategi preventif pemberantasan pungutan liar,” lanjutnya.
Agung berada di Yogyakarta untuk pencanangan wilayah bebas Pungli. Selain Yogyakarta, sejumlah kota di Indonesia turut ambil peran, seperti Deli Serdang, Kabupaten Asahan, Kota Palembang, Kota Bandung, Kota Malang, hingga Mataram di Nusa Tenggara Barat. Total ada 15 kabupatan atau kota yang terlibat.
Dianggap Sebuah Kewajaran
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengakui, Pungli saat ini telah berkonotasi menjadi sebuah kewajaran, dalam proses pelayanan publik. Setidaknya, menurut Mahfud, tindakan semacam itu masih merebak hingga beberapa tahun terakhir, sebelum pemerintah mengeluarkan Perpres 87 tentang Saber Pungli.
“Ini dilakukan oleh pejabat aparatur negara, dan saat ini tidak hanya terjadi pada level kementerian dan lembaga, namun sudah berkembang pada level Pemda, bahkan sampai level terkecil, RT dan RW sekalipun,” kata Mahfud.
Dia bahkan mengisahkan, salah satu penasihat di Satgas Saber Pungli sendiri belum lama ini menjadi korban Pungli dari seorang Ketua RW. Dia diminta membayar sejumlah uang, ketika berniat membangun pagar untuk tanah miliknya sendiri. Setelah dicek oleh Satgas Saber Pungli, kejadian itu menurut Mahfud memang benar ada.
Kondisi semacam itu membuat keberadaan Satgas Saber Pungli semakin dibutuhkan.
Mahfud mengakui, bahwa Satgas ini bukanlah penegak hukum, meski tugasnya merupakan bagian dari upaya membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi. Satgas Saber Pungli menitikberatkan upaya pembersihan institusi pemerintah, dari kebiasaan oknum meminta uang langsung ke masyarakat terkait birokrasi.
Your browser doesn’t support HTML5
“Tetapi, meskipun begitu di Saber Pungli ini ketuanya adalah Irwasum, itu penegak hukum. Ada kejaksaan, itu penegak hukum,” lanjut Mahfud.
Dengan peran para pejabat di dalam Satgas, Mahfud menyampaikan pesan kepada para birokrat, bahwa setiap tindakan Pungli akan ditindak secara hukum. Mahfud memastikan, bahwa Pungli adalah satu dari tujuh bentuk tindak pidana korupsi.
Salah satu tantangan beratnya, kata Mahfud adalah faktor budaya. Ada semacam tradisi, bahwa Pungli dipercaya memperlancar urusan terkait birokrasi. Masyarakat pun kemudian menganggapnya wajar ketika harus membayar biaya yang lebih dari yang ditentukan. Praktiknya sangat luas, mulai dari membayar ke petugas untuk mengakali antrian di bank atau rumah sakit, sampai proses pembuatan Surat Ijin Mengemudi (SIM) pada masa lalu.
Pemerintah, kata Mahfud, telah melakukan banyak upaya untuk menekan praktik itu di birokrasi.
Dibutuhkan Reformasi Kultural
Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubowo X menyebut sejumlah hal yang membuat upaya memberantas Pungli terasa berat. Dia mengambil perumpamaan, untuk membersihkan rumah dibutuhkan sapu yang bersih. Namun yang lebih sering terjadi ibarat pagar makan tanaman, yaitu yang harus membersihkan justru mengingkari tugasnya. Di sisi lain, umumnya masyarakat bersifat permisif terhadap penyimpangan, sebab dianggap sebuah kelaziman.
“Warisan budaya, 'ngono ya ngono, ning aja ngono'. Yang artinya, “boleh memungut, tapi asal tidak berlebihan. Budaya pemisif itu harus kita tinggalkan dan tanggalkan,” ujar Sultan.
Karena itulah, Sultan berharap aparatur sipil berani memotong kebiasaan lama dalam pelayanan. Dia mengingatkan, ASN sudah berikrar dan menandatangani Pakta Integritas.
“Jangan seperti umumnya yang terjadi, setelah tanda tangan Pakta Integritas, tidak selang lama ada saja oknum yang secara sadar melanggar ikrarnya sendiri,” tambah Sultan.
Dalam melakukan reformasi birokrasi, pemerintah sudah bisa melakukan reformasi struktural. Namun, menurut Sultan, reformasi kultural belum terjadi dan memerlukan loncatan untuk berani keluar dari pola pikir lama.