Amerika Serikat, Rabu (8/11) mengumumkan proyek senilai $553 juta untuk membangun terminal peti kemas perairan dalam di Pelabuhan Kolombo, Sri Lanka, sebagai upaya untuk bersaing dengan China dalam pendanaan pembangunan internasional.
Proyek ini dianggap menyediakan infrastruktur penting bagi negara Asia Selatan itu dengan potensi untuk “mengubah Kolombo menjadi pusat logistik kelas dunia di persimpangan rute pelayaran utama dan pasar negara berkembang,” menurut Development Finance Corp (DFC).
"Pinjaman DFC sebesar $553 juta untuk Terminal Kontainer Barat akan memperluas kapasitas pengirimannya, menciptakan kemakmuran yang lebih besar bagi Sri Lanka tanpa menambah utang negara, sekaligus memperkuat posisi sekutu kami di seluruh kawasan,” kata CEO DFC Scott Nathan.
Pengumuman ini muncul ketika Sri Lanka sedang berjuang untuk pulih dari krisis keuangan dan ekonomi yang memprihatinkan.
Pelabuhan Kolombo telah beroperasi mendekati kapasitasnya sejak tahun 2021, dan terminal baru ini akan melayani pertumbuhan ekonomi di Teluk Benggala, kata DFC.
DFC akan memberikan pinjaman langsung kepada konsorsium pengembangan terminal, yang 51 persen sahamnya dimiliki oleh operator pelabuhan terbesar di India, Adani Ports & Special Economic Zones Ltd. Mitra lainnya adalah John Keells Holdings dari Sri Lanka, yang memiliki 34 persen saham dan Otoritas Pelabuhan Sri Lanka dengan 15 persen sisanya.
Nathan mengatakan bahwa dengan pinjaman tersebut, Sri Lanka akan menjadi “paparan terbesar kedua” bagi institusinya di kawasan Indo-Pasifik, setelah India.
“Merupakan prioritas utama bagi Amerika Serikat untuk aktif di kawasan Indo-Pasifik,” katanya kepada wartawan di Kolombo setelah mengunjungi lokasi terminal baru.
DFC didirikan lima tahun lalu sebagai tanggapan terhadap upaya pembangunan infrastruktur global besar-besaran yang dilakukan Beijing, yang dikenal sebagai Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative).
Melalui proyek ini, Beijing telah menginvestasikan puluhan miliar dolar setiap tahunnya untuk membangun jalan raya, kereta api, pelabuhan dan bandara, biasanya di negara-negara berkembang, guna mendorong perdagangan dan niat baik terhadap China.
Beberapa proyek tersebut menimbulkan kontroversi, salah satunya adalah Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, di pantai tenggaranya. Sri Lanka meminjam banyak uang dari China untuk membangun pelabuhan dan infrastruktur lainnya termasuk bandara dan kota yang dibangun di atas tanah reklamasi. Proyek-proyek tersebut gagal menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar pinjaman, dan pada tahun 2017, Sri Lanka menyewakan pelabuhan di Hambantota itu ke China.
Utang Sri Lanka yang bernilai miliaran dolar kepada Beijing telah menghambat upaya untuk menyelesaikan permasalahan keuangannya dan sering dikutip sebagai bukti oleh para kritikus Inisiatif Sabuk dan Jalan yang mengklaim bahwa China terlibat dalam diplomasi perangkap utang.
Pemerintah China menolak tuduhan tersebut. Argumen jebakan utang “dibuat untuk mengganggu dan melemahkan kerja sama China dengan negara-negara berkembang,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin dalam briefing harian pada hari Selasa.
Baik negara tetangga India maupun China saling berebut pengaruh di Sri Lanka dan keduanya telah berinvestasi dalam memperluas fasilitas di pelabuhan Kolombo. India khawatir akan semakin besarnya kehadiran China di pulau tersebut, yang merupakan salah satu rute pelayaran tersibuk di dunia dan di wilayah yang dianggap India sebagai bagian dari wilayah strategisnya. [ab/uh]