Pemerintah Indonesia sedang berusaha mengurangi peningkatan limbah plastik lewat berbagai cara, antara lain melalui konversi plastik menjadi bahan bakar alternatif pada pembangkit listrik. Namun, skema itu menimbulkan kekhawatiran atas risiko penggunaan plastik sebagai bahan bakar bagi lingkungan dan kesehatan, serta rencana penghentian operasional PLTU batu bara di Indonesia.
Volume sampah plastik di Indonesia pada 2022, menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SISPN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencapai 19,45 juta ton. Angka ini turun dibandingkan tahun 2021 sebanyak 31,13 juta ton. Berdasarkan jenisnya, sampah plastik menempati urutan kedua atau sebanyak 18,5 persen, setelah sampah sisa makanan sebanyak 41,5 persen. Penurunan volume sampah ini tidak lepas dari berbagai upaya pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta semua lapisan masyarakat yang berupaya memilah serta mendaur ulang sampah.
Upaya lain yang sedang dilakukan pemerintah adalah mengubah sampah plastik menjadi bahan campuran untuk bahan bakar pembangkit listrik. Refuse-Derived Fuel (RDF) dari sampah plastik, dianggap solusi pengurangan sampah plastik menjadi bahan bakar. Menurut data KLHK, potensi RDF diperkirakan mencapai 20.000 ton per-hari, yang dapat dimanfaatkan pada 52 PLTU serta 34 pabrik industri semen di seluruh Indonesia.
Seperti yang dilakukan di tempat pembuangan akhir (TPA) Jabon, di Kabupaten Sidoarjo, sebagian sampah plastik yang berukuran kecil diproses bersama sampah organik menjadi bahan bakar campuran pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pegawai bagian administrasi TPA Jabon, Sidoarjo, Susilo Irawan, mengatakan sudah ada 160 ton RDF yang dihasilkan dari sampah plastik, yang sedang diuji coba sebagai campuran bahan bakar pada PLTU di Paiton dan Tanjung Awar-awar. Namun, terkait harga jual, Susilo mengaku masih melakukan negosiasi untuk mendapatkan harga yang lebih baik.
“Untuk campuran bahan bakar PLTU-nya, penggantinya batu bara, untuk sementara ini kita masih cocokkan harga. Sudah terlaksana tapi pengirimannya kita belum sepenuhnya, karena harganya ini telalu tipis (murah). Ya sudah terkirim kemarin untuk uji coba, di Tanjung Awar-awar 80 ton, lalu di Paiton juga 80 ton,” jelasnya.
TPA Olah Sampah Plastik Jadi RDF
Upaya pemerintah mengurangi volume sampah, khususnya sampah plastik, dilakukan dengan mendorong TPA di sejumlah daerah mengolah sampah plastiknya menjadi RDF. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK, Laksmi Dewanthi, menegaskan pentingnya pengelola PLTU maupun pabrik yang menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar, agar memastikan kinerja incinerator pembakaran sampah plastik berfungsi dengan baik. Pembakaran sampah plastik secara sempurna, akan mencegah atau meminimalkan emisi pembakaran keluar ke lingkungan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Jadi yang perlu dilihat adalah incineratornya, kinerja incineratornya, supaya pembakaran plastik yang masuk kesana itu kemudian tidak keluar pencemaran udaranya. Jadi, memang itu secara teori dimungkinkan. Sekarang kinerja incineratornya harus kita jaga, supaya dia pembakarannya sempurna, sehingga tidak ada emisi dioksida misalnya, dan sebagainya, yang biasa keluar kalau kita membakar plastik sembarangan,” jelasnya.
Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some, mengatakan pemanfaatan sampah plastik untuk bahan bakar dinilai kurang tepat. Menurutnya, penggunaan RDF berbahan sampah plastik sebagai bauran energi pengganti batu bara pada PLTU, dinilai tidak efektif ditengah rencana pemerintah menghentikan operasional PLTU pada 2050. Selain itu, prosentase sampah plastik yang digunakan untuk RDF tidak lebih dari 5 persen, sehingga tidak akan berdampak pada upaya pengurangan sampah plastik di TPA.
“Itu bukan solusi yang tepat, kenapa? Pertama, kita tahu kan sampah plastik itu yang ada di Indonesia beragam jenisnya. Ketika beragam jenisnya tidak hanya plastik, tapi ada campuran dari plastik itu, misalnya ketika itu pakai pewarna, kemudian ketika dia pakai platizer, pelemas, kemudian ada pelapis lain, ada lem dan segalanya, ketika dibakar itu kan berdampak, bisa menghasilkan gas-gas yang berbahaya dan belum kita ketahui dampaknya,” jelas Hermawan Some.
Sebagian Warga Tak Setuju Kebijakan Pemerintah
Penggunaan plastik sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik, juga diragukan efektivitasnya oleh Kholid, warga Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto. Kholid tinggal di desa yang selama puluhan tahun menjadi tempat pembuangan sampah plastik. Ia mengaku tidak setuju dengan kebijakan pemerintah itu, karena sudah mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat pembakaran sampah plastik bagi lingkungan dan kesehatan.
“Bau asap seperti plastik, seperti biasanya bau asap dari pembakaran plastik itu, yang pertama itu. Terus abunya itu bahkan sampai masuk ke dalam rumah. Terus terkait penyakit, banyak yang terjangkit ya mungkin seperti penyakit-penyakit diabetes, sesak napas, seperti sakit pernapasan, itu ada beberapa warga yang memang dia ini tinggal di seberang atau di sampingnya aktivitas pembakaran plastik itu,” kata Kholid.
Kholid berharap, ada solusi lain yang lebih ramah lingkungan dan minim risiko kesehatan bagi warga, terkait upaya pengurangan volume sampah. Salah satunya, kata Kholid, dapat dimulai dengan mengurangi pemakaian plastik, serta pemilahan plastik dari rumah tangga. Selain itu, industri juga harus melakukan daur ulang sampah plastik pembungkus produknya, sebagai bentuk tanggung jawab pengurangan sampah plastik di masyarakat. [pr/em]