Wilayah perbukitan Sitimulyo di Piyungan berubah wajahnya sejak Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) dibuka pada 1996. Pelan namun pasti, lembah hijau antar bukit terisi sampah. Tahun ini mungkin akan menjadi kritis, ketika kawasan itu tidak mampu lagi menampung kiriman dari tiga daerah, yaitu Kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul.
Sejak Minggu (24/3), warga desa-desa di sekitar TPST Piyungan menutup akses masuk. Truk-truk pengangkut sampah pun berputar balik. Penolakan ini muncul karena kekecewaan yang menumpuk dari warga. Hujan membuat cairan sampah meluap kemana-mana, tumpukan plastik juga melebar hingga ke area kebun, jalan menjadi becek, bau busuk menyengat serta serangan nyamuk dan lalat menjadi-jadi. Maryono, perwakilan warga mengatakan, seperti juga sampah yang terus datang, masalah yang mereka hadapi juga menumpuk.
“Sekarang ini, truk-truk sampah bisa antri sampai 8 jam, sepanjang 1,5 kilometer. Permohonan warga, dermaga pembuangan sampah dibuat lebar dulu. Jalan juga dibenahi dari bawah sampai ke atas. Diaspal. Sebelum dermaga pembuangan dibuat lebih lebar, agar pembuangan lebih lancar, pembuangan sampah akan tetap ditutup warga dulu. Nanti dibuka kalau tuntutan warga dipenuhi,” kata Maryono.
Sejak awal TPST Piyungan dibuka, warga sudah meminta kompensasi dari pemerintah. Menunggu 23 tahun, harapan itu tak pernah terwujud. Mereka juga menuntut jalan diaspal agar tidak becek ketika musim hujan dan debu tidak beterbangan pada musim kemarau. TPST juga diminta membuat pagar pembatas agar sampah tidak masuk ke sawah.
Apa yang terjadi di TPST Piyungan melahirkan masalah di tengah kota. Truk-truk sampah yang biasanya bekerja sejak pagi buta, terpaksa menganggur. Sampah mulai menumpuk di sudut-sudut kampung dan tempat pembuangan sementara di pasar.
Burnawan, Kepala Pengawas Kebersihan Pasar Yogyakarta, mengaku di banyak titik, sampah mulai menggunung. Sampah yang dikumpulkan warga, mulai bercampur dengan sampah pasar.
“Harapan kami, semoga apa yang diminta masyarakat segera ditampung. Sehingga sampah cepat diatasi, cepat dibuka, sehingga armada pengangkut sampah baik dari Kota Yogya, Sleman dan Bantul bisa mengatasi sampah dengan baik,” ujar Burnawan.
Your browser doesn’t support HTML5
Kepala Pengelolahan Sampah Akhir Balai TPST Piyungan, Imam Sugiono, angkat tangan soal keluhan warga. Pemerintah belum memiliki anggaran untuk memenuhi semua tuntutan itu. Dari panjang jalan dua kilometer yang harus diperkeras, hanya 100 meter yang bisa mereka lakukan.
Sementara ini, mereka akan mendatangkan alat berat untuk mendorong tumpukan sampah agar tak masuk ke sawah warga. Selain itu, dermaga juga akan diperbesar untuk mempercepat truk membuang muatan.
“Dermaga pembuangan sampah yang semula 25 meter persegi akan dibuat menjadi 50 meter persegi, sehingga proses pembuangan tidak antre lama,” kata Imam.
Pemerintah merencanakan akan membelah hamparan sampah itu dengan jalan selebar 12 meter. Dengan akses baru, truk pengangkut sampah tidak perlu melewati pemukiman. Talud sepanjang 400 meter dan tinggi 5 meter juga akan dibangun untuk menahan sebaran sampah. Namun, semua rencana itu baru bisa terlaksana tahun depan.
Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung Laksana mengaku sudah memahami persoalan ini. Dia telah mendengar sendiri seluruh keluhan warga, termasuk kendala pengelolaan sampah. Penolakan warga juga dapat dimengerti karena tuntutan yang tidak dipenuhi selama ini. Apalagi, penumpukan sampah selama lebih dari 20 tahun itu telah berdampak bagi kehidupan mereka.
“Persoalannya adalah, lokasi TPST ini memang sudah sangat melebihi kapasitas. Harus ada upaya untuk melakukan penambahan lokasi, dan memang rencananya ada penambahan lahan. Di sisi lain perlu ada pengunaan teknologi agar sampah ini bisa didaur ulang. Agar sampah ini bisa diubah fungsinya dan bermanfaat. Penggunaan teknogi bisa menjadi alternatif utama untuk menyelesaikan persoalan,” papar Yoeke.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi DIY), Halik Sandera, menyebut, masalah pengelolaan sampah dihadapi oleh banyak daerah. Pilihan yang diambil selama ini adalah sanitary landfill. Namun dalam praktiknya, seperti yang terjadi di Yogyakarta, di Indonesia pemerintah lokal tidak menerapkan sistem itu dengan benar, sehingga yang terjadi adalah open dumping.
Sistem sanitary landfill mensyaratkan penerapan lapisan tanah lempung dan geomembran di dasar lokasi buangan. Selain itu, pipa saluran lindi atau cairan sampah dan gas metan juga harus disediakan. Dengan demikian, dampak negatif pembuangan sampah dapat ditekan. “Kalau TPST Piyungan dikelola dengan sistem sanitary landfill yang benar sejak awal, mungkin masalahnya belum seperti saat ini,” ujar Halik.
Halik setuju, masalah sampah yang menumpuk di pembuangan akhir diselesaikan secepatnya. Namun, langkah itu adalah hilir dari aliran masalah. Menurutnya, jalan keluar terbaik justru harus dilakukan sejak dari hulu sampah, yaitu di tingkat rumah tangga.
Indonesia sudah memiliki undang-undang yang mengatur pengelolaan sampah sejak 2008. Tugas pemerintah daerah adalah membawa aturan itu di skala lokal dan melakukan kampanye langsung kepada masyarakat. Selama ini, seolah-olah pemerintah lebih serius menjalankan tugas di sisi hilir yaitu dalam pengangkutan sampah dan pengelolaan tempat pembuangan akhir, sementara tidak ada upaya serius mendorong warga untuk mengelola sendiri sebagian sampahnya.
“Sampah organik itu oleh sebagian besar masyarakat masih dibuang ke TPA. Padahal sebenarnya sampah organik itu bisa selesai di tingkat rumah tangga. Tetapi edukasi itu belum masif dilakukan oleh pemerintah sebagai regulator dan penangungjawab, untuk mendorong masyarakat melakukan pengolahan sampah pada skala paling kecil, yaitu rumah tangga,” kata Halik.
Halik juga menegaskan, mandat undang-undang pengelolaan sampah antara lain adalah pertanggungjawaban produsen kemasan produk terhadap sampah yang dihasilkan masyarakat. Namun, sampai saat ini belum ada upaya menuntut kepedulian sektor usaha dalam isu ini, padahal di sisi lain, masyarakat Indonesia dikenal sangat konsumtif. Dengan produk yang seluruhnya dalam kemasan, gunungan sampah anorganik adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari.
TPST Piyungan berada 14 kilometer di tenggara kota Yogya. Sampah kini nampak telah memenuhi lahan seluas 12,5 hektar itu. Setiap hari, 150 truk datang dan pergi membawa 600 ton sampah dari tiga daerah di Yogyakarta.
Sudah tiga hari sampah menumpuk di titik-titik pembuangan. Tanpa jalan keluar secepatnya, Yogya akan menghadapi masalah dengan gunungan sampah. Ditutupnya TPST Piyungan seolah menjadi alarm yang memanggil seluruh warga agar lebih peduli dengan p[engelolaan sampah. [ns/lt]