Tiga bulan setelah Amerika meningkatkan usaha untuk menggeser Presiden Venezuela Nicolas Maduro, pemimpin sosialis yang otokratis itu masih terus berkuasa. Pemerintahan Presiden Trump agaknya telah salah perhitungan bahwa sanksi-sanksi keras akan memaksa militer Venezuela untuk tidak mendukung Maduro, dan juga tidak memperhitungkan tantangan regional terhadap usaha militer untuk memaksa penggantian pemerintahan.
Embargo minyak Amerika atas Venezuela telah menambah penderitaan warga Venezuela yang menghadapi kekurangan makanan dan penindasan, sehingga jutaan orang telah mengungsi ke luar negeri.
Kata Michael Shifter, pejabat Inter-American Dialogue,“Krisis kemanusiaan itu diciptakan oleh pemerintah Venezuela pimpinan Maduro, karena salah urus dan korupsi. Itulah yang menyebabkan krisis kemanusiaan. Tapi krisis itu tambah buruk lagi karena adanya sanksi-sanksi ekonomi yang sangat kuat.”
Your browser doesn’t support HTML5
Harapan bahwa Nicolas Maduro akan terpaksa turun karena sanksi-sanksi dan tekanan diplomatik Amerika tampaknya juga mulai pudar.
Pemerintah Amerika dan 50 negara lainnya pada bulan Januari telah mengakui Juan Guaido, ketua DPR, sebagai pemimpin sementara, karena Maduro telah mencegah ikutnya tokoh-tokoh oposisi dalam pemilihan presiden tahun lalu.
Pemerintah Amerika juga menghentikan impor minyak dari Venezuela yang merupakan hampir 90 persen penghasilan devisa negara itu.
Nicolas Maduro juga mendapat dukungan kelompok militernya, yang khawatir akan pembalasan apabila pihak oposisi menang.
Pemerintah Amerika telah mengenakan sanksi-sanksi baru atas Kuba, karena mendukung Venezuela dengan mengirim ribuan tentara dan penasihat keamanan. Tapi Russia juga memperkuat dukungan bagi Maduro dengan mengirim tentara dan menolak usaha DK PBB untuk mengecam Rusia.
Pada waktu yang sama, kemungkinan serangan pimpinan Amerika atas Venezuela juga semakin kecil, karena tentangan kuat dari Brazil dan Colombia, dua negara sekutu Amerika di kawasan itu.
“Kedua negara itu telah mengambil sikap tegas. Secara politis dan diplomatis, tapi mereka tidak mau menggunakan kekerasan militer,” tambah kata Michael Shifter. (ii)