Sanlat Milenial Islami: Ajak Milenial Mengenal Kedamaian Islam

Para remaja peserta Pesantren Kilat Milenial Islami mengunjungi Vihara Lalitasvistara di Cilincing, Jakarta Utara, sebagai rangkaian kegiatan Tour of Tolerance, 26 Mei 2018. (Foto: Ahadian Utama/VOA)

Di tengah kekhawatiran merebaknya paham-paham ekstrem di kalangan anak muda Muslim, Pesantren Kilat Milenial Islami mengajak generasi milenial itu mengenal wajah Islam yang damai, sejuk dan toleran.

“Apa perbedaan cara ibadah antara Kristen Protestan dan Katolik?. Apa tugas anak-anak romo (putra altar, red)?. Apakah masalah kalau umat Katolik tidak mengerjakan ibadah di gereja?. Satu lagi, ada hari-hari khusus, misalnya Jumat Agung, itu untuk apa?.”

Rentetan pertanyaan tersebut terlontar dari Jumidah, 15 tahun, kepada Christian Pele, 46 tahun, petugas seksi liturgi dari Gereja Katolik Salib Suci di kawasan Cilincing, Jakarta Utara.

Christian tergelak. “Wah, pertanyaannya banyak sekali ya,” kata Christian berseloroh, kemudian dengan sabar menjawab pertanyaan Jumidah.

Sabtu (26/5/2018) pagi, Jumidah, pelajar SMK Bakti Karya di Pangandaran, bersama 24 peserta Pesantren Kilat Milenial Islami bertandang ke Gereja Katolik Salib Suci. Kehadiran mereka sempat menarik perhatian tamu-tamu gereja. Bukan pemandangan biasa memang, melihat beberapa remaja putri mengenakan hijab duduk di bangku-bangku barisan depan dekat altar gereja.

Para peserta Pesantren Kilat Milenial Islami berfoto bersama pengurus Gereja Tugu di Cilincing, Jakarta Utara. Kunjungan ke Gereja Tugu adalah bagian dari kegiatan pesantren Tour of Tolerance, 26 Mei 2018. (Foto: Ahadian Utama/VOA)

​Para peserta pesantren sedang mengikut Tour of Tolerance, salah satu kegiatan Pesantren Kilat Milenial Islami yang diselenggarakan oleh Milenial Islami selama tiga hari pada 25-27 Mei lalu. Gereja Katolik Salib Suci, yang menjadi rumah ibadah kedua dari lima rumah ibadah lainnya yang disinggahi peserta pesantren yang rata-rata siswa SMP dan SMU.

Pesantren kilat itu itu adalah salah satu kegiatan Milenial Islami, sebuah gerakan untuk menangkal penyebaran paham-paham ekstrem di kalangan generasi muda Islam melalu berbagai program yang mengajarkan toleransi dan pengetahuan mengenai Islam moderat dengan cara yang akrab dengan keseharian para milenian.

Day Firmansyah, salah satu pendiri Milenial Islami, mengatakan gagasan pesantren kilat berangkat dari keprihatinan bahwa paparan negatif media sosial, seperti ujaran kebencian dan hoaks, membuat kaum muda Islam cenderung menjadi lebih ‘radikal dan fundamental’.

“Selama ini kecenderungannya, (mereka) dicekoki dengan informasi di media sosial sehingga mereka berpikiran apa yang ada di media sosial itu betul,” kata Day dalam wawancara dengan VOA di sela-sela kegiatan pesantren, Sabtu itu.

“Kami ingin mengajarkan nilai-nilai islam yang damai, sejuk dan toleran, kepada milenial Islam supaya mereka punya perspektif lain,” ujar Day.

Internet dan Paham Ekstrem

Kekhawatiran mengenai merebaknya perilaku intoleransi dan paham-paham ekstrem, yang tak jarang dengan kekerasan di kalangan generasi muda atau dikenal dengan Generasi Z, seperti yang diungkapkan Day, bukan tanpa alasan.

Hasil survei mengenai pandangan Muslim Generasi Z terhadap keragaman, agama dan negara yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) pada Juni-Oktober 2017 di 34 provinsi, menegaskan realita tersebut. Yang dimaksud dengan Generasi Z adalah mereka yang lahir setelah 1995.

Menurut hasil survei PPIM, internet, termasuk blog, situs web dan media sosial, menjadi sumber rujukan favorit anak-anak muda dengan persentase 54.8 persen. Buku/kitab menjadi sumber rujukan kedua dengan persentase 48.57 persen, sisanya televisi.

Survei PPIM melibatkan total 2.181 responden, yang terdiri dari 1.522 siswa dan 337 mahasiswa serta 264 guru dan 58 dosen Pendidikan Agama Islam.

Beberapa temuan survei PPIM yang dirilis April 2018 mengkhawatirkan. Sebanyak 58,5 persen responden mahasiswa dan siswa memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal dan 37,71 persen siswa Muslim setuju Jihad adalah qital (perang) melawan non-Muslim.

Mengenai pengaruh pendidikan agama, sebanyak 48,95 persen responden siswa dan mahasiswa mengatakan pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain.

Baca: Pemerintah Perlu Berantas Ajaran Ekstremisme di Sekolah dan Masjid

Day mengatakan sejumlah aksi teror di beberapa kota di Indonesia pada Mei, termasuk di Surabaya yang menggunakan anak-anak dan remaja dalam aksi teror, menjadi peringatan bahwa masih diperlukan upaya untuk mencegah kaum muda Islam terlibat dalam kekerasan ekstrem.

Melalui Pesantren Kilat Milenial Islami “kami ingin mengingatkan kembali kepada anak-anak muda, ‘Yuk, bareng-bareng memahami Islam yang sejuk dan damai,’ “ ujar Day. “Islam itu tidak sama dengan terorisme. Islam itu mengajarkan kasih sayang, cinta dan senyum.”

Belajar Menerima Perbedaan

Selain Gereja Salib Suci, para peserta Tour of Tolerance juga mengunjungi Masjid Al Alam, Gereja Tugu, Vihara dan Klenteng Lalitavistara, Rumah Abu dan Pagoda Cilincing, Krematorium Cilincing dan Pura Segara.

Para peserta tampak antusias mengikuti tur tersebut, meski harus menjelajah kawasan Cilincing yang gersang, berdebu dan kumuh, di tengah cuaca panas dan sedang menjalani ibadah puasa.

Para peserta Pesantren Kilat Milenial Islami berbuka bersama perwakilan remaja dan keluarga dari agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan Katolik, di Masjid Pesantren Bayt Al Quran, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Mei 2018. (Foto: Ahadian Utama/VOA)

Kunjungan mereka mendapat tanggapan positif dari para pengurus rumah ibadah yang disinggahi.

“Kalau bisa lebih sering lagi,” kata Christian Pele dari Gereja Katolik Salib Suci. “ Kita juga bisa saling berkunjung. Jadi, pemikiran kita yang merasa ada tirai, bahwa Katolik begini, Kristen begini, Budha begini, Islam begini,...kita bisa jadi satu lagi.”

Program lainnya di pesantren kilat adalah sesi ‘Ask Me Anything’. Dalam sesi ini, para peserta bisa bertanya kepada teman sebaya dari agama lain yang diundang ke kegiatan pesantren, mengenai berbagai isu yang selama ini mungkin ingin mereka ketahui.

Sesi ‘Ask Me Anything’ Sabtu petang itu berlangsung hangat di sela buka puasa. Sambil lesehan dan mengudap berbagai sajian buka puasa di lantai bawah Masjid Pesantren Bayt Al Quran di kawasan Pondok Cabe, para peserta bertanya berbagai hal kepada remaja dari Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia dan agama Kong Hu Chu serta dua keluarga masing-masing beragama Hindu dan Katolik.

Day mengatakan dengan sesi ‘Ask Me Anything, para peserta diharapkan punya pemahaman yang lebih jernih terhadap perbedaan. “Karena di Islam sendiri perbedaan adalah rahmat yang diberikan oleh Tuhan dan harus kita terima,” papar Day.

Ananta Nugraha Winata, salah satu peserta, mengatakan dia tertarik mengikuti Pesantren Kilat Milenial Islam karena jarang menemui program yang mengajarkan Islam damai dan toleransi antara umat beragama.

“Saya jadi belajar hal-hal baru, yaitu tentang ritual ibadah mereka, cara mereka berdoa seperti apa,” kata Ananta, pelajar kelas 10 sebuah SMU di Jakarta. “Dan ternyata tidak seperti ekspektasi saya. Ternyata teman-teman dari agama lain baik juga,” ujar Ananta.

Dua peserta Pesantren Kilat Milenial Islami sedang belajar membuat vlog atau video blog bertema toleransi dan Islam damai, sebagai salah materi pesantren kilat, di Pesantren Bayt Al Quran, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Mei 2018. (Foto: Ahadian Utama/VOA)

Pesantren Kilat Milenial Islami juga memberikan materi seputar media sosial yang dekat dengan keseharian para milenial, yaitu dengan kelas membuat vlog atau video blog bertema toleransi. Setelah rampung, vlog buatan para peserta diunggah di akun media sosial masing-masing peserta.

“Kami ingin mereka justru memanfaatkan atau mensiasati media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai islam yang sejuk. Supaya mereka bisa menjadi duta Islam yang sejuk,” kata Day. [fitri wulandari/ahadian utama]