Aroma sate khas Indonesia yang menggoda selera tercium di kawasan pusat kota Washington, D.C mendekati jam makan siang. Harumnya aroma rempah nusantara ini datang dari “Java Cove Indonesian Kitchen” food truck, milik pasangan asal Indonesia, Andre dan Dewi Masfar, yang beroperasi di wilayah Washington, D.C sejak November 2015 lalu.
“Kalau kita bakar, berarti kita repot. Orang pasti datang. Kadang-kadang kalau ada satu pesan sate, ini bahaya. Kita bisa di attack.” kata Andre Masfar sambil bercanda saat ditemui oleh VOA belum lama ini.
Semua ini berawal dari keinginan Andre dan Dewi untuk memperkenalkan kuliner Indonesia kepada warga lokal AS. Mereka kemudian memutuskan untuk terjun ke bisnis food truck yang terus marak di Washington, D.C. Ia lantas pergi ke pelelangan untuk membeli truk bekas dan mengurus perizinannya yang mencakup daerah Maryland dan Washington, D.C.
Setelah memperoleh izin, Andre harus memenuhi berbagai persyaratan lainnya, termasuk sertifikat untuk memasak, menyerahkan desain truk yang akan digunakan, dan juga harus lulus inspeksi dari dinas kesehatan AS.
“Proses perizinannya sebenarnya susah-susah gampang. Kita mesti sabar saja,” jelas pria asal Bukit Tinggi, Padang ini.
Secara keseluruhan pengurusan perizinan oleh Andre telah memakan waktu sekitar enam bulan. Modal yang diperlukan untuk merintis usaha food truck-nya ini adalah kurang lebih 500 juta rupiah.
Your browser doesn’t support HTML5
Dengan banyaknya jumlah food truck yang beroperasi di wilayah Washington, D.C, pemilihan lokasi dan tempat parkir juga harus mengikuti aturan yang ada. Semua dilakukan melalui undian, sehingga tiap food truck bisa mendapatkan tempat yang berbeda di setiap bulannya. Jika tidak mengikuti undian, para pemilik food truck juga bisa parkir dan berjualan di beberapa lokasi tertentu. Para pelanggan kemudian bisa mengikuti pergerakan food truck favorit mereka melalui media sosial seperti Twitter dan Facebook.
Elemen Indonesia dalam desain truk "Java Cove Indonesian Kitchen" ini juga sangat kuat. Truk berwarna coklat ini bergambarkan wayang dan peta Indonesia, serta dihiasi gambar batik di bagian bawahnya.
Menu makanan yang tersedia juga sangat beragam dan kaya akan rempah-rempah tradisional Indonesia. Mulai dari rendang khas padang, sate ayam, sate kambing, kalio ayam, dan menu tempe serta sayuran. Andre menjelaskan makanan yang dijual tidak boleh sembarangan dan harus didaftarkan juga.
“Sebenernya banyak, ada mie goreng, kita sudah bikin list ada empanada, kita bilang(nya) pastel. Terakhir ini ada ide, ada teman mau jual siomay. Kita enggak bisa jual siomay lantas kita masukin izinnya, itu lama, seminggu buat mendapatkannya (agar) kita bisa diizinkan jual siomay, akhirnya udahlah forget it, tapi sekarang akhirnya dapat juga, gado-gado kita masukin, pokoknya semua makanan, itu musti register dulu, enggak bisa sembarangan kita bikin gado-gado di (tempat) di list-nya enggak ada,” papar pria yang berdomisili di AS sejak tahun 1989 ini.
“Java Cove Indonesian Kitchen” food truck ini beroperasi setiap hari Senin hingga Jum’at. Setiap harinya Andre dan Dewi menyiapkan sekitar 100 tusuk sate dan masing-masing 20 porsi untuk setiap menunya, yang dipadukan dengan nasi putih atau nasi goreng, bakwan, lumpia, dan sayuran.
Tidak hanya sate yang selalu menggoyang lidah warga AS, namun rendang daging Indonesia yang sudah banyak dikenal oleh warga internasional juga menjadi salah satu menu favorit.
“(Pelanggan) pernah makan ini di Indonesia. Beef rendang di Indonesia juga rupanya dicari. Sampai (Amerika) juga (dia) enggak tanya-tanya lagi. Langsung dia pesan saja beef rendang,” kata Andre.
Siapa yang menyangka ternyata warga AS juga menggemari makanan pedas. Tidak jarang mereka meminta ekstra sambal kepada Andre.
“Kadang-kadang itu yang lucu tuh. (Pelanggan) pikir sambalnya kita kurang pedas. Kadang-kadang dia minta tambah. Kadang-kadang kita tambahkan, lantas spring roll-nya dia makan di depan kita. Ternyata pedasnya minta ampun. Kita punya rawit kan itu yang paling pedas. Akhirnya (pelanggan) bilang, ‘Waduh ini bener-benar, kamu mesti bilangin saya,’ saya udah bilang saya bilang, tapi kalau situ tetap makan ya, what can I do?” jawab Andre sambil tertawa.
Makanan yang dijual oleh “Java Cove Indonesian Kitchen” juga harus dimasak langsung di truk atau dapur umum yang sudah ditentukan. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi jika terjadi keracunan.
“Itu cuman dua syaratnya, masak di kitchen apa masak di truk? Itu juga semuanya mesti lulus (departemen kesehatan),” ucap Andre.
“Jadi kebersihan ini benar-benar, kalau misalnya ada food poison satu gitu ya dari food, food itu yang (diselidiki). Kayak gado-gado. Apa salahnya? Apa di kacangnya? Apa di sayurnya? Sayurnya busuk apa gimana?” tambah Andre.
Petugas dinas kesehatan pun tidak segan-segan datang untuk melakukan inspeksi dadakan.
“Kadang-kadang ada. Yang sering itu kalau kita ikut festival. Sudah pasti di periksa. Kalau misalnya di (lokasi ini) kadang-kadang dia datang. Coba lihat license-nya? Dia naik ke sini, dia periksa temperaturnya, (hanya) itu saja,” jelas Andre.
Penghasilan yang didapat oleh “Java Cove Indonesian Kitchen” food truck per harinya bisa mencapai sekitar Rp 8-9 juta. Menurut Andre, usaha food truck ini sangat menarik perhatian orang.
“Food truck itu attrack people. Kita kerjanya bersih. Di tempatnya juga enggak mengotori kan? Orang benar-benar tertarik sama itu. Kalau kita punya restoran, (biayanya) gede. Kita mesti tunggu orang datang. Ini enggak. Dimana ramai, disitu kita datang. Kalau misalnya sepi, kita pindah ke tempat yang ramai. Itu kan gampang benar. Jadinya pasti income-nya jalan terus. Mudah-mudahan ya, insha Allah,” kata Andre menutup wawancara dengan VOA.