Satgas Covid: Indonesia Harus Belajar Penanganan Pandemi dari Thailand

Seorang karyawan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) mengantar penumpang penerbangan internasional yang tiba di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok, ke mobil transfer hotelnya untuk Karantina Negara Alternatif (ASQ) wajib 14 hari, 16 November 2020.

Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang dinilai berhasil menekan laju perebakan virus corona. Apa saja yang telah dilakukan negara tersebut?

Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 memuji langkah penanganan pandemi yang dilakukan oleh Thailand. Negara ini merupakan negara pertama setelah China yang melaporkan kasus pertama COVID-19 pada Januari 2020, namun telah mengantisipasinya secara dini sehingga dapat mengontrol laju perebakannya dengan baik.

Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan sejak pandemi melanda, Thailand hanya memiliki 4.000 kasus dengan 60 kematian. Padahal jumlah penduduknya mencapai 70 juta jiwa.

“Thailand sudah berkomitmen melakukan investasi di bidang kesehatan selama 40 tahun dan juga membangun lebih dari jutaan jaringan tenaga kesehatan di desa, yang berperan sebagai mata dan telinga dari sistem kesehatan di mayarakat,” ungkap Wiku dalam telekonferensi pers, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (17/11).

Jubir Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito dalam telekonferensi pers di Istana Kepresidenan , Jakarta, Selasa (17/11) mengatakan Indonesia harus belajar penanganan Pandemi dari Thailand (Biro Setpres)

Kesuksesan negeri gajah putih ini, kata Wiku, tidak dibangun dalam waktu singkat. Sejak puluhan tahun lalu, pemerintah Thailand telah fokus membangun infrastruktur kesehatan mulai dari tingkat daerah hingga komunitas, termasuk melakukan pelatihan kepada tenaga kesehatan dan juga kader masyarakat, untuk kemudian dikirim ke desa dan daerah tertinggal agar semua masyarakat mendapatkan akses kesehatan yang baik.

“Selain itu, sejak tahun 1975 aksesibilitas skema asuransi untuk berbagai kelompok telah ditingkatkan secara bertahap. Hal ini kemudian membuat pelayanan kesehatan di Thailand mampu mencapai universal health coverage, atau di Indonesia disebut JKN pada tahun 2002,” lanjutnya.

Kemudian ketika wabah COVID-19 muncul pihak pemerintah dengan sigap mengaktivasi program kedaruratan untuk mencegah wabah besar yang melibatkan respons seluruh masyarakat, yang didasari oleh bukti ilmiah dan kepemimpinan kolektif respons ini, kata Wiku, merupakan hasil pembelajaran Thailand dalam menangani wabah SARS pada tahun 2003 silam.

Your browser doesn’t support HTML5

Satgas Covid: Indonesia Harus Belajar Penanganan Pandemi dari Thailand

Dengan manajemen kesehatan masyarakat yang baik itu, sistem kesehatan di Thailand mampu beradaptasi dengan kebutuhan dan berhasil menginformasikan serta memobilisasi masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan, seperti deteksi atau testing, tracing dan treatment.

“Hasilnya adalah terjadinya penurunan kasus secara bertahap di bulan April, dan Mei. Subjek yang paling berperan penting dalam respons terhadap COVID-19 adalah kader desa, mereka adalah orang biasa yang berkontribusi dirinya untuk membantu penanganan COVID di lingkungan terdekatnya. Dan di bawah pengawasan dinas kesehatan setempat. Jumlah mereka saat ini kurang lebih satu juta dari total 69 juta populasi di Thailand,” jelas Wiku.

Petugas mengenakan alat pelindung diri (APD) mendisinfeksi bagasi penumpang penerbangan internasional yang tiba di bandara Suvarnabhumi, Bangkok, Thailand, sebelum membawa mereka ke hotel untuk Karantina Negara Alternatif (ASQ) wajib 14 hari, 16 November 2020.

Berkaca kepada apa yang dilakukan oleh Thailand itu, Wiku menilai,bahwa Indonesia seharusnya bisa melakukan hal yang sama, mengingat populasi di tanah air yang cukup besar dan adanya semangat gotong royong.

“Sudah seharusnya kesuksesan ini dapat juga kita raih, bersatunya seluruh elemen masyarakat melawan COVID-19 tanpa terbelah merupakan kunci kemenangan dalam menghadapi pandemi. Peran aktif pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya saat ini dibutuhkan untuk dapat meningkatkan upaya tiga T, testing, tracing dan treatment dan melalui tiga T ini maka kita dapat mendeteksi kasus positif berikut kontak terdekatnya secara lebih dini sehingga dapat ditangani dengan lebih cepat serta dapat meningkatkan angka kesembuhan,” tuturnya.

Kasus Baru Positif COVID-19 Naik 17,8 Persen Pada Pekan Ini

Wiku melaporkan pada pekan ini terjadi peningkatan kasus positif di level nasional sebanyak 17,8 persen dibandingkan pekan lalu. Menurutnya, peningkatan ini cukup signifikan mengingat sebelumnya, kenaikan kasus positif mingguan hanya berkisar lima hingga delapan persen.

Adapun lima provinsi yang dengan kenaikan kasus positif tertinggi pada minggu ini adalah Jawa Tengah (naik 2.377), Jawa Barat (naik 875), DKI Jakarta (naik 778), Banten (naik 662) dan Lampung (204 kasus).

Meski begitu, pada pekan ini Satgas mencatat penurunan angka kematian hingga 8,9 persen. Lima provinsi dengan kenaikan kematian tertinggi adalah Jawa Tengah (naik 38), Kalimantan Timur (naik 13), Jambi (naik 6), Kepulauan Riau (naik 4 ) dan Kepulauan Bangka Belitung (naik 3).

“Untuk persentase kasus meninggal tertinggi diisi oleh Jawa Timur (7,15 persen), Sumatera Selatan (5,37 persen), Nusa Tenggara Barat (5,2 persen), Bengkulu (4,49 persen), dan Jawa Tengah (4,36 persen),” ujarnya.

Namun sayangnya, angka kesembuhan itu terus menurun selama empat minggu berturut-turut. Bahkan pada minggu ini angka kesembuhan mengalami perlambatan sebesar 9,3 persen.

Seorang karyawan mengenakan masker dan pelindung wajah membersihkan pembatas di sebuah meja makan di restoran seiring dengan pembukaan masa PSBB transisi di Jakarta, Senin, 12 Oktober 2020. (Foto: Reuters)

“Perlambatan ini dikontribusikan oleh lima provinsi di Indonesia yang mengalami perlambatan paling tinggi, yakni Sumatera Barat (turun 1.377), Aceh (turun 810), Riau (turun 660), Banten (turun 521) dan Jawa Tengah (turun 342),”katanya

Sementara itu, persentase kesembuhan terendah di tingkat nasional adalah Papua (51,56 persen), Lampung (51,97 persen), Jambi (68,23 persen), Sulawesi Tengah (70,8 persen) dan Sulawesi Barat (72,62 persen).

Zona Risiko Oranye Turun

Terkait peta zona risiko COVID-19, Wiku menjelaskan bahwa pada pekan ini daerah yang masuk ke dalam zona oranye atau risiko sedang turun menjadi 345 dari sebelumnya 370 kabupaten/kota.

“Ini adalah langkah yang kita harapkan karena sejak awal pandemi kabupaten/kota dengan zona oranye adalah paling banyak diantara zona risiko lainnya,” kata Wiku.

Namun terjadi peningkatan pada zona merah atau zona risiko tinggi yaitu dari 27 menjadi 28 kab/kota. Lalu daerah dengan risiko rendah atau zona kuning, terjadi peningkatan yang sebelumnya 97 menjadi 121 kabupaten /kota di pekan ini. Sedangkan, zona hijau atau daerah yang tidak ada kasus baru meningkat jumlahnya dari sembilan menjadi 10 kabupaten /kota.

“Untuk kab/kota yang tidak terdampak menurun jumlahnya dari 11 menjadi 10 kabupaten /kota, makin sedikit jumlah kabupaten /kota yang tidak terdampak,” ujarnya. [gi/ab]