Satu Dekade Jokowi: Runtuhnya Demokrasi Hantui Warisan Pertumbuhan Ekonomi

Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dan para menteri kabinet usai pelantikan kabinet baru Jokowi periode kedua, di Istana Kepresidenan, Jakarta, 23 Oktober 2019. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Jokowi awalnya dipuji karena latar belakangnya yang tak memiliki hubungan militer, dan tidak terhubung dengan oligarki sipil yang kuat di Tanah Air.

Joko Widodo, calon presiden dari warga sipil, tampil sangat mengesankan satu dekade yang lalu. Ia tampak hadir dalam sebuah acara apel siaga ribuan pendukungnya dengan menggunakan ikat kepala putih bertuliskan 'Satgas Anti Pilpres Curang'.

Pada saat itu, Jokowi muncul sebagai sosok yang diharapkan mampu memenuhi harapan masyarakat akan demokrasi dan perubahan, dengan harapan Indonesia dapat menjadi lebih baik dan lebih bersih.

Setelah dua periode dan satu dekade berkuasa, Jokowi berhasil meninggalkan warisan yang signifikan di Indonesia, negara berpenduduk 280 juta jiwa, dengan catatan pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan pembangunan infrastruktur secara masif. Namun, sejumlah pakar mencatat bahwa kepemimpinan Jokowi juga ditandai dengan munculnya kembali corak kekuasaan gaya lama, politik dinasti, serta penurunan integritas di lembaga peradilan dan institusi pemerintah lainnya.

Spanduk raksasa bertuliskan imbauan untuk Presiden Jokowi agar bersipak tegas dalam polemik KPK-Polri di Solo, 13 Februari 2014 (Foto: VOA/Yudha)

Para analis memperkirakan bahwa tren tersebut kemungkinan akan berlanjut di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, sosok yang dekat dengan penguasa Orde Baru.

Pada pemilihan presiden tahun ini, Jokowi mengabaikan calon dari partainya sendiri, dan justru mendukung kemenangan Prabowo, yang memilih putra Jokowi sebagai calon wakil presiden.

"Jokowi membuat banyak kerusakan pada demokratisasi dalam beberapa tahun terakhir," kata analis politik Kevin O'Rourke. "Sulit untuk melihat bagaimana hal itu dapat dipulihkan."

Jokowi awalnya dipuji karena latar belakangnya yang tak memiliki hubungan militer, dan tidak terhubung dengan oligarki sipil yang kuat di Indonesia. Ia kini meninggalkan jabatannya dengan tuduhan bahwa dia berusaha mengamandemen undang-undang demi keuntungan keluarganya, serta mengendalikan lembaga negara untuk menekan para lawan politiknya. Tuduhan itu mencerminkan perubahan yang signifikan dari citra awalnya sebagai pemimpin yang anti-korupsi dan berpihak pada demokrasi.

Seorang perempuan berjalan melewati poster calon presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Joko Widodo dalam debat di Jakarta, 15 Juni 2014. (Foto: Reuters)

Juru bicara kantor presiden tidak menanggapi permintaan komentar. Jokowi mengatakan pada Juli bahwa demokrasi berkembang pesat di negara ini, dengan mengutip penyelenggaraan pemilu dan kebebasan berpendapat.

Jokowi sebelumnya bergelut dalam bidang furnitur di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Karier politiknya dimulai saat ia naik jabatan dari wali kota Solo menjadi gubernur Jakarta pada 2012, sebelum akhirnya berhasil terpilih menjadi presiden pada 2014, mengalahkan Prabowo. Ia kembali mengalahkan Prabowo pada Pilpres 2019. Namun, Jokowi memilih Prabowo untuk menjabat sebagai menteri pertahanan.

Saat Jokowi lengser pada 20 Oktober, warisannya yang terpenting adalah menyerahkan Indonesia ke tangan Prabowo, mantan menantu penguasa otoriter Soeharto dan putra mantan begawan ekonomi, Soemitro Djojohadikusumo.

"Ia memberikan dukungan kepada Prabowo, dan itu sudah membahayakan lembaga-lembaga demokrasi Indonesia," kata O'Rourke.

Pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menyapa para pendukungnya dari atas panggung dalam kampanye akbar di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu, 10 Februari 2024. (Foto: TPN Prabowo – Gibran)

Waktu Terbatas

Prabowo sebelumnya pernah menyarankan untuk mengembalikan sistem konstitusi yang lama, di mana pemilihan presiden tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Indonesia menerapkan batasan masa jabatan presiden setelah pemerintahan 32 tahun Soeharto yang sarat dengan korupsi dan nepotisme kandas. Era Suharto berakhir pada 1998, menyusul krisis ekonomi Asia yang memicu ketidakstabilan politik, dan sosial di Indonesia. Batasan masa jabatan itu diberlakukan untuk mencegah pengulangan kekuasaan yang terpusat, dan korupsi yang merajalela pada masa pemerintahan Soeharto.

Pada Maret, Prabowo menggambarkan demokrasi sebagai sesuatu yang melelahkan, mahal, dan berantakan. Ia belum lama ini juga menyinggung wacana tentang menghidupkan kembali konstitusi lama.

Juru bicara presiden terpilih tidak menanggapi permintaan komentar.

BACA JUGA: Luhut: Jokowi Dukung Prabowo dan Tidak Campuri Pemilu

Jokowi menjadi orang nomor satu di republik ini pada satu dekade lalu dengan penuh harapan, dipuji saat itu sebagai sosok yang mampu membawa perubahan nyata.

Mantan wakil kepala stafnya, Yanuar Nugroho, menilai Jokowi berhasil pada periode pertama kekuasaannya.

"Periode pertama Jokowi adalah saat ia benar-benar menepati apa yang dijanjikannya," katanya, termasuk layanan BPJS yang lebih baik, yang kini mencakup lebih dari 90 persen populasi, dan pembangunan infrastruktur secara massif.

Selama masa pemerintahan Jokowi, Indonesia membukukan pertumbuhan ekonomi yang solid dan inflasi yang rendah, serta berhasil menarik investor asing dalam industri pengolahan mineral dalam negeri, terutama nikel, komponen utama dalam baterai kendaraan listrik.

Pada masa jabatan kedua Jokowi, terlihat adanya pergeseran ketika ia mulai mengonsolidasikan kekuasaan, dengan para pembantunya membahas kemungkinan perubahan konstitusi untuk memungkinkan dirinya menjabat untuk ketiga kalinya. Ketika itu tidak terwujud, perpanjangan masa jabatan menjadi topik yang muncul dalam banyak laporan media.

Presiden Jokowi meninjau Smelter tembaga di Sumbawa milik PT Amman. (Biro Setpres)

Tak satu pun ide itu membuahkan hasil, dan Jokowi akhirnya mendesak para menteri pemerintah untuk berhenti berbicara tentang kemungkinan ia tetap menjabat.

Tanda lain yang menimbulkan keprihatinan, menurut para akademisi dan kritikus, adalah cara pemerintah Jokowi memanfaatkan lembaga-lembaga seperti pengadilan, KPK, dan kejaksaan untuk kepentingan politiknya. Hingga saat ini, kantor presiden belum memberikan tanggapan terkait permintaan komentar tentang isu ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Para kritikus mengungkapkan bahwa pendukung presiden mengancam akan menggunakan tuduhan korupsi untuk menekan lawan-lawan politiknya, termasuk tokoh dari partai oposisi dan para pengkritik pemerintah. Salah satu contohnya adalah pengunduran diri mendadak Airlangga Hartarto, ketua Partai Golkar, pada Agustus.

Posisi Airlangga di partai digantikan oleh loyalis Jokowi, Bahlil Lahadalia. Kasus tersebut menjadi salah satu indikasi bagaimana ancaman hukum dimanfaatkan untuk keuntungan politik, menurut laporan media.

BACA JUGA: Program Makan Gratis Prabowo Buat Investor Khawatirkan Stabilitas Keuangan RI

Airlangga menolak berkomentar. Kantor Sekretaris Presiden menegaskan keputusan Airlangga untuk mengundurkan diri tidak ada hubungannya dengan presiden.

"Yang kami lihat adalah presiden semakin percaya diri karena dia tahu bahwa dia benar-benar bisa lepas tanggung jawab begitu saja," kata Sana Jaffrey, seorang peneliti di Universitas Nasional Australia (ANU).

Perhatian terhadap integritas sistem peradilan meningkat pada Oktober 2023, saat Mahkamah Konstitusi, yang dipimpin oleh saudara ipar Jokowi, mengeluarkan keputusan yang memungkinkan putra sulung presiden, Gibran Rakabuming Raka yang berusia 37 tahun, untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden dengan mengubah syarat usia yang berlaku.

Protes terjadi pada Agustus setelah DPR mengusulkan perubahan lebih lanjut dalam aturan pemilu, yang memungkinkan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk mencalonkan diri dalam pemilihan daerah pada November. Namun, DPR akhirnya membatalkan rencana tersebut.

"Seolah-olah dia menghapus semua hal baik yang telah ia lakukan, " kata mantan stafnya Yanuar, yang bergabung dalam protes tersebut.

Presiden Jokowi blusukan di Pasar Sidoharjo, Lamongan, Jawa Timur, Senin, 19 November 2018. (Foto courtesy: Setneg RI)

Meskipun begitu, popularitas Jokowi tetap tinggi. Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, tingkat penerimaan terhadapnya mengalami penurunan hingga level terendah tahun ini. Namun, Jokowi tetap dapat mengantongi dukungan sebesar 75 persen, lebih tinggi dari rata-rata selama dua periode jabatannya.

Jaffrey dari ANU mengungkapkan bahwa selama masa kepemimpinan Jokowi, ia membawa Indonesia ke jurang kehancuran, meski belum mencapai titik yang disebut sebagai "otoritarianisme kompetitif."

"Dalam sistem seperti itu, semua struktur demokrasi ada... tetapi tidak ada satu pun yang bermakna," katanya.

Prabowo akan mewarisi negara yang lebih kuat, tetapi kurang akuntabel dibandingkan dengan kondisi yang ada sejak 1998, saat reformasi dimulai, ujarnya.

O'Rourke menyimpulkan bahwa "kemungkinan besar akan terjadi kembalinya struktur politik yang mirip dengan era Soeharto. Prabowo telah menegaskan bahwa dia akan sangat sedikit menoleransi perbedaan pendapat." [ah/rs]