Kandidat beraliran moderat yang bersahaja memimpin penghitungan suara dalam pemilihan presiden (pilpres) Iran di antara empat kandidat yang setia kepada pemimpin tertinggi dan sangat dikontrol, di tengah meningkatnya rasa frustrasi publik dan tekanan Barat.
Dengan lebih dari 3,8 juta surat suara dari pilpres pada Jumat (28/6) yang telah dihitung sejauh ini, Massoud Pezeshkian meraup lebih dari 1.595.000 suara. Sementara penantangnya, mantan perunding nuklir Saeed Jalili yang bergaris keras, memperoleh sekitar 1.594.000 suara.
Hasil perhitungan sementara itu diungkapkan oleh pejabat Kementerian Dalam Negeri Mohsen Eslami kepada TV pemerintah pada Sabtu (29/6) pagi.
Meskipun beberapa orang dalam mengatakan jumlah pemilih sekitar 40 persen, lebih rendah dari perkiraan para penguasa Iran, para saksi mata mengatakan kepada Reuters bahwa tempat pemungutan suara di Teheran dan beberapa kota lainnya tidak ramai.
Kantor berita Iran Tasnim mengatakan pemilihan putaran kedua "sangat mungkin" untuk memilih presiden berikutnya setelah kematian Ebrahim Raisi dalam kecelakaan helikopter.
Tidak Ada Perubahan Kebijakan
Pemilu tersebut bertepatan dengan meningkatnya ketegangan regional akibat perang antara Israel dan sekutu Iran, gerakan Hamas, di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, serta meningkatnya tekanan Barat terhadap Iran atas program nuklirnya yang berkembang pesat.
BACA JUGA: Warga Iran di Indonesia Datangi TPS di Jakarta untuk Nyoblos Pilpres
Presiden berikutnya diperkirakan tidak akan melakukan perubahan besar dalam kebijakan program nuklir Iran atau dukungan terhadap kelompok milisi di Timur Tengah, karena Khamenei mengambil alih semua urusan penting negara.
Namun, presiden menjalankan pemerintahan sehari-hari dan dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri dan dalam negeri Iran.
Tidak Banyak Pilihan
Tiga kandidat adalah tokoh garis keras dan satu kandidat adalah tokoh moderat, yang didukung oleh faksi reformis yang sebagian besar telah terpinggirkan di Iran dalam beberapa tahun terakhir.
Seorang sumber yang dekat dengan Pezeshkian sebelumnya mengatakan kepada Reuters bahwa "sejauh ini, dari penghitungan suara di kota-kota kecil dan desa, Pezeshkian lebih unggul dari para pesaingnya."
Tokoh terkemuka di antara kelompok garis keras yang tersisa adalah ketua parlemen dan mantan komandan Garda Revolusi, Mohammad Baqer Qalibaf, serta Jalili, yang menjabat selama empat tahun di kantor Khamenei.
Kritik terhadap pemerintahan ulama Iran mengatakan bahwa rendahnya jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan legitimasi sistem tersebut telah terkikis. Tingkat partisipasi pemilih mencapai 48 persen pada pemilihan presiden 2021 dan rekor terendah sebesar 41 persen dalam pemilihan parlemen pada Maret.
Berdasarkan laporan yang belum terkonfirmasi, pemilu kemungkinan besar akan memasuki putaran kedua. Berdasarkan perolehan suara sejauh ini, Jalili dan Pezeshkian akan bersaing dalam pemilu putaran kedua,” lapor Tasnim.
Jika tidak ada calon yang memperoleh sedikitnya 50 persen ditambah satu suara dari seluruh surat suara, termasuk suara blanko, putaran kedua antara dua calon teratas diadakan pada Jumat pertama setelah hasilnya diumumkan.
Pemilih Terpecah
Pezeshkian setia pada pemerintahan teokratis Iran, tetapi menganjurkan perdamaian dengan Barat, reformasi ekonomi, liberalisasi sosial, dan pluralisme politik.
“Kami akan menghormati undang-undang hijab, tetapi tidak boleh ada perilaku yang mengganggu atau tidak manusiawi terhadap perempuan,” kata Pezeshkian setelah memberikan suaranya.
BACA JUGA: Iran Konfirmasi 6 Kandidat Pilpres, Ahmadinejad DidiskualifikasiYang dia maksud adalah kematian Mahsa Amini, seorang wanita muda Kurdi, pada tahun 2022 saat berada dalam tahanan polisi moral karena diduga melanggar aturan berpakaian wajib Islam.
Kerusuhan yang dipicu oleh kematian Amini berkembang menjadi unjuk rasa oposisi terbesar terhadap penguasa ulama Iran selama bertahun-tahun.
Peluang Pezeshkian bergantung pada upaya menghidupkan kembali antusiasme para pemilih yang berpikiran reformis, yang sebagian besar tidak ikut pemilu selama empat tahun terakhir karena mayoritas penduduk muda merasa kesal dengan pembatasan politik dan sosial. Dia juga bisa mendapatkan keuntungan dari kegagalan para pesaingnya dalam mengkonsolidasikan suara garis keras.
“Saya merasa Pezeshkian mewakili pemikiran tradisional dan liberal,” kata Pirouz, seorang arsitek berusia 45 tahun.
Pirouz mengatakan dia berencana memboikot pemungutan suara tersebut sampai dia mengetahui lebih banyak tentang rencana Pezeshkian. [ft/ah]