Puluhan petani di pesisir Danau Poso mengirimkan somasi kepada PT Poso Energy pengelola PLTA Poso 1 dan PLTA Poso 2, menuntut perusahaan itu memberi ganti rugi. Para petani itu mengatakan, naiknya permukaan air danau akibat uji coba operasi bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air pada tahun 2020 membanjiri areal persawahan mereka.
Muhamad Taufik D Umar, kuasa hukum petani desa Meko dari Aliansi Penjaga Danau Poso, kepada VOA, Selasa (23/3/2021) mengatakan somasi itu mewakili 95 petani sawah yang kehilangan mata pencaharian.
Kegiatan uji coba pintu air bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso dianggap menyebabkan kenaikan permukaan air danau sehingga merendam areal persawahan sepanjang April hingga Desember 2020 seluas 85 hektare di desa Meko.
“Kalau secara immateriil itu tidak terhingga karena pertama mereka tidak mampu membayar cicilan utang di bank, karena beberapa orang mengambil cicilan di bank dan koperasi. Kedua mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka ngutang lagi, ketiga mengubah pola hidup mereka yang dari petani menjadi buruh, keempat anak-anak mereka yang sekolah di luar daerah menjadi putus sekolah karena tidak bisa dibiayai oleh orang tua mereka,” ungkap Taufik menjelaskan dampak kerugian yang dialami oleh petani dan keluarganya.
Ditegaskannya bila somasi itu tidak direspons, maka pihaknya akan mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) ke pengadilan Negeri Poso terhadap PT Poso Energy.
Dalam somasi yang telah dikirim sebanyak tiga kali sejak 22 Januari 2021 itu, PT Poso Energy didesak mengganti kerugian setiap petani yang terdampak i uji coba pintu air bendungan PLTA. Daftar kerugian petani dan jumlah ganti rugi harus ditetapkan dengan memperhitungkan keuntungan dari pengolahan sawah berdasarkan pengalaman para petani.
Albert Adriatico Sinay, Kuasa Hukum PT Poso Energy kepada VOA mengatakan pihaknya sudah berupaya mengundang pihak kuasa hukum dan warga terkait somasi tersebut, namun belum mendapat respon.
“Intinya kami mengundang, ada dua poin yang kami mau jelaskan yaitu mengenai hasil kajian teknis apakah benar sawah itu terendam karena kegiatan PLTA. Namun, untuk hasil kajian teknis itu belum bisa saya sampaikan karena kami harus sampaikan terlebih dahulu kepada warga atau kuasa hukum APDP ini,” jelas Albert, Senin (22/3/2021).
Menurut Albet, somasi itu seharusnya disertai dengan kajian teknis yang memadai.
“Ada daerah yang kami dengar sudah sering banjir dan itu fakta, dalam arti sebelum proyek terjadi sering banjir nah data-data seperti itu belum sampai ke kami juga, jadi semua data-data yang dilampirkan itu hanya data warga dan kerugian, jadi yang kami perlukan juga mungkin membantu keluhan-keluhan warga ini, perlu juga disampaikan data-data teknis,” ungkap Albert.
Kerugian Petani
I Made Sadia (53) petani sawah asal desa Meko mengungkapkan, sepanjang 2020 hingga awal tahun 2021 dia sudah mengalami tiga kali kegagalan menanam padi, disebabkan areal sawah terendam saat air danau kembali tiba-tiba meninggi. Untuk menanam padi di lahan seluas satu hektar dia membutuhkan modal rata-rata 5 juta rupiah untuk bibit dan pupuk yang dipinjamnya dari sebuah koperasi.
“Yang pertama saya ada pinjam 15 juta, karena gagal saya tambah lagi karena perhitungan saya, panen kedua ini di situ saya bisa klop (lunasi) satu kali, akhirnya panen kedua gagal lagi,” keluh Made Sadia yang mengolah lahan seluas 3 hektare. Menurutnya kini dia memiliki nilai utang sebesar 30 juta rupiah.
Yulius Molidja (42) petani asal desa Toinasa mengungkapkan luapan air danau merendam 98 hektare lahan sawah milik 60 keluarga petani di desa itu. Karena tidak bisa mengolah sawah seluas satu hektare miliknya, maka sepanjang tahun 2020, dia kehilangan potensi pendapatan senilai 34 juta rupiah dari dua kali masa tanam di lahan seluas satu hektare.
“Tahun 2020 kemarin kami sempat dua kali mengolah tapi gagal tidak bisa kami, mau hampir panen sudah meluap lagi air, kita panen di atas perahu, tidak mau diambil kasihan tanaman,” keluh Yulius. Menurutnya air sudah surut sejak Februari 2021 tapi dia belum dapat mengolah sawah, karena khawatir air dapat naik lagi secara tiba-tiba.
Sekian lama hidup berdampingan dengan Danau Poso membuat petani memiliki pola tanam Januari hingga Mei dan Agustus hingga Desember. Sedangkan bulan Juni hingga Juli adalah saat di mana petani tidak akan mengolah sawah karena air danau akan naik merendam areal persawahan seiring dengan musim hujan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Setelah surut kami sudah mulai mengolah karena ini sawah masih basah-basah dengan air, sudah tidak susah mengolahnya, tinggal kasih pecah-pecah -tanah- dengan traktor, habis hambur padi, bulan 12 panen,” kata ibu Meriam Tasiabe (64) saat ditemui di desa Toinasa, Pamona Barat (15/3/2021). Menurutnya pola naik turun air danau kini tidak bisa lagi diprediksi seperti dulu.
Pemerintah berupaya cari solusi
Wakil Bupati Poso Yasin Mangun mengatakan Pemerintah Kabupaten Poso berupaya untuk berkomunikasi dengan pihak perusahaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi kepentingan masyarakat dan kepentingan investasi listrik di wilayah itu.
“Dengan harapan bahwa masyarakat kita tidak dirugikan dan investasi listrik di kabupaten Poso itu juga dapat berjalan dengan baik,” harap Yasin Mangun.
Dikatakannya, serangkaian kegiatan pertemuan dengan berbagai pihak yang dilakukan di bulan Maret akan ditindaklanjuti dengan pertemuan berbasis desa terdampak investasi perusahaan itu. [yl/ab]