SBY: Pemerintah Tetap Dukung Pilkada Langsung

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. (VOA/Andylala Waluyo)

Presiden menekankan akan bekerja keras mengubah UU Pilkada sesuai dengan koridor yang ada dan tidak melanggar konstitusi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pemerintah tetap medukung pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat dan akan mencari cara agar undang-undang pilkada yang baru disahkan oleh DPR, yang menghapuskan pilkada langsung dapat diubah.

Pernyataan itu dikeluarkan Presiden usai memimpin rapat kabinet terbatas bersama untuk membahas UU Pilkada, Selasa (30/9).

"Sebenarnya posisi pemerintah dalam sistim pilkada ini adalah pilkada langsung dengan perbaikan-perbaikan yang mendasar. Atas dasar itulah dari kondisi obyektif yang ada. Dan perlunya ada suatu sistem atau undang-undang yang tepat dan sesuai dengan aspirasi rakyat. Maka pemerintah tetap konsisten bahwa yang paling baik adalah sistim pikada langsung dengan perbaikan-perbaikan besar," ujarnya.

Presiden menekankan akan bekerja keras melakukan hal itu sesuai dengan koridor yang ada dan tidak melanggar konstitusi. Terkait dengan langkah yang akan diambil pemerintah, Presiden mengatakan sudah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi.

"Sehingga kesimpulannya tidak ada jalan bagi Presiden untuk tidak bersetuju atas apa yang telah dihasilkan dalam rapat paripurna DPR beberapa hari yang lalu. Saya tentu sebagai Presiden taat asas, taat konstitusi, dan apalagi ada pandangan dari MK seperti itu," ujarnya.

Presiden Yudhoyono sebelumnya mendapat saran dari mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra untuk tidak menandatangani UU Pilkada. Yusril menyarankan agar Presiden tidak menandatangani UU itu hingga masa jabatannya habis.

Namun demikian pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan UU Pilkada tetap otomatis berlaku meski Presiden tidak bersedia menandatangani undang-undang itu.

"Kalaupun tidak ditandatangani oleh Presiden SBY, maka undang-undang itu tetap akan menjadi undang-undang dan wajib di undangkan," ujarnya.

Refly menyarankan agar Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), sebagai pengganti UU Pilkada.

"Ada dua langkah yang bisa dilakukan Presiden yang semuanya berujung pada penerbitan perppu. Langkah pertama adalah, Presiden menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan RUU Pilkada dan dia tidak pernah memberikan persetujuan. Lalu dia tidak menggunakan undang-undang itu dan dia mengeluarkan Perppu untuk mengisi kekosongan hukum. Atau yang kedua, Presiden tanda tangan UU Pilkada itu, tetapi setelah itu dicabut dan tetapkan Perppu," ujarnya.

Pemilihan suara dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berakhir Jumat dini hari (26/9) memutuskan bahwa kepala-kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat namun kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti sebelum 2005.

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD memperoleh 226 suara, sedangkan pemilihan kepala daerah langsung mendapat 135 suara.

Pengesahan UU tersebut memunculkan gelombang protes dari masyarakat, dan sejumlah pihak berencana mengajukan gugatan yudisial ke Mahkamah Konstitusi.