Sebagian Besar Lapangan Kerja Tahun 2030 Belum Diciptakan

DAQRI yang berbasis di Los Angeles menggunakan perangkat Realitas Tertambah (AR) untuk menampilkan instruksi kerja di lingkungan pekerja, yang menurut perusahaan memungkinkan pekerja menyelesaikan tugas dengan aman dan efisien. (Courtesy daqri.com)

Hingga 85 persen pekerjaan dalam 11 tahun mendatang masih belum tercipta. Ini menurut para pakar yang dikumpulkan oleh Institute for the Future (IFTF), meskipun persentase belum tentu tepat.

IFTF, organisasi nirlaba yang berupaya mengidentifikasi tren masa depan dan dampaknya terhadap masyarakat global, memprediksi banyak pekerjaan pada tahun 2030 masih belum tercipta saat ini.

“Mereka yang ingin terus bekerja hingga 50 tahun ke depan harus punya pola pikir, 'Saya akan bekerja dan belajar dan bekerja dan belajar, dan bekerja dan belajar,' untuk tetap berkarir," kata Rachel Maguire, direktur penelitian IFTF.

Pada tahun 2030, kita mungkin akan hidup di dunia di mana "asisten buatan" membantu menyelesaikan hampir semua tugas.

Menurut Maguire dengan "asisten buatan" kita seperti bekerja bersama asisten yang mengerjakan tugas-tugas yang tidak bisa diselesaikan manusia.

"Orang-orang yang melek secara digital-lah yang akan maju, karena mereka memimpin 'orkestra teknologi digital'," jelasnya. "Mereka berperan sebagai konduktor, tetapi pekerjaan diselesaikan, paling tidak bersama-sama, mesin-mesin ini."

Teknologi baru dalam dekade mendatang diharapkan mengarah pada kemitraan manusia-mesin yang saling memanfaatkan kelebihan masing-masing secara maksimal.

U.S. Biro Data Ketenagakerjaan AS menyebutkan mereka yang saat ini tengah menjadi siswa akan punya delapan hingga 10 pekerjaan ketika mereka berumur.

Dan mereka belum tentu harus berhenti bekerja untuk ikut pelatihan atau mendapatkan sertifikasi tambahan. Mereka bisa bermitra dengan mesin-mesin untuk langsung memahami pekerjaan mereka, dengan mengenakan headset realita tertambah (augmented reality). Headset ini akan memberikan informasi yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.

"Orang-orang tidak lagi harus mengambil pelatihan untuk mendapat upah lebih tinggi," ujar Maguire. "Mereka bisa mempelajari keahlian baru ketika memulai pekerjaan baru itu.”

Siswa menggunakan realitas virtual (VR) untuk pendidikan imersif. VR membawa penggunanya ke dunia simulasi. (Courtesy Dell.com)

Tidak ada lagi departemen SDM (HRD), dan tidak perlu mencari pekerjaan sendiri, justru pekerjaan yang akan menghampiri Anda.

Calon pemilik usaha akan mencari data dari berbagai sumber, termasuk profil bisnis online dan media sosial, untuk memahami seseorang dan keahlian mereka.

Maquire mengatakan sudah ada banyak upaya untuk mengubah perburuan pekerjaan menjadi seperti perjodohan, dengan kecerdasan buatan untuk membantu 'menjodohkan' seseorang dengan pekerjaan yang cocok.

Semestinya, 'perjodohan' online seperti ini bisa mengurangi bias dan diskriminasi dalam praktik perekrutan. Namun, tetap ada kekurangannya.

"Sistem ini diciptakan oleh orang-orang yang mungkin tidak sadar kalau mereka punya bias," kata Maguire.

Karenanya Maguire yakin masyarakat harus terlibat dalam menentukan arah teknologi baru, daripada hanya menjadi penonton.

"Apa yang kita inginkan dari teknologi baru, dan bagaimana agar kebijakan sosial dan sistem sosial seperti yang kita inginkan?" katanya. "Saya prihatin kita hanya jadi penonton dan membiarkan teknologi mendikte kita, seharusnya kitalah yang menentukan bagaimana teknologi ini bisa membantu memperbaiki kehidupan kita." [es/dw]