Sekolah seni Ripetta di Roma baru-baru ini bergabung dengan beberapa sekolah menengah di Italia yang memberikan siswa transgender hak untuk dikenal dengan nama selain yang diberikan saat mereka lahir. Inisiatif ini digelar untuk menciptakan lingkungan di mana para siswa transgender merasa aman, dan mencerminkan kesadaran yang berkembang di Italia tentang disforia gender di kalangan remaja dan anak-anak.
Matteo Coccimiglio tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, mendengar kabar bahwa sekolahnya memberinya hak untuk dikenal dengan nama selain yang diberikan saat ia lahir. Siswa Sekolah Seni Ripetta berusia 18 tahun itu terlahir sebagai perempuan, tetapi mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki, dan sedang dalam proses mengubah status gendernya dari perempuan menjadi laki-laki.
"Saya sangat senang mendengar pengumuman ini. Saya sangat senang karena orang-orang seperti saya akan bisa memulai pendidikan di sekolah ini dengan rasa lebih terlindungi, baik dari perundungan (bullying) maupun sebutan-sebutan yang merendahkan. Mereka akan menghadapi lebih sedikit masalah daripada yang pernah saya alami," jelas Matteo Coccimiglio.
Matteo mengatakan dia merasa terjebak dalam tubuhnya saat tumbuh dewasa. Ia mengatakan ia diintimidasi, menderita kecemasan dan depresi, dan kerap dihantui pikiran untuk bunuh diri.
Pada saat berusia 14 tahun, ia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu orang tuanya bahwa dia ingin mengubah jenis kelaminnya. Meskipun mereka mendukung, ini merupakan perjalanan panjang bagi keluarganya.
Ayahnya, Franco Coccimiglio, mengatakan ia awalnya kesulitan menerima keinginan Matteo untuk menjadi seorang pria, tetapi sekarang ia mendukung sepenuhnya keinginan putrinya tersebut.
"Saya sudah tahu itu, saya sudah menduganya. Tapi kemudian, menghadapi kenyataan ini seperti mendapat tamparan di wajah sendiri. Namun, saya menempatkan kebahagiaan anak saya di atas segalanya," jelas Franco Coccimiglio.
Satu-satunya penyesalan Matteo Coccimiglio adalah ia tidak mengungkapkannya lebih awal sehingga masalahnya bisa diatasi lebih dini.
Meskipun survei menunjukkan opini publik semakin mendukung hak-hak LGBTQ, Italia masih merupakan masyarakat konservatif yang sangat dipengaruhi oleh pandangan Gereja Katolik tentang seksualitas.
Survei tahun 2016 yang mengukur dukungan publik untuk hak transgender di 23 negara oleh Williams Institute di Universitas California, Los Angeles, menempatkan Italia di peringkat ke-16, di bawah AS dan enam negara Eropa Barat lainnya.
Beberapa universitas Italia mengizinkan siswa transgender untuk memilih nama dan jenis kelamin mereka dalam dokumen internal, meskipun mereka belum mengubah jenis kelamin mereka secara hukum, tetapi baru-baru ini peraturan serupa telah diadopsi oleh sejumlah kecil sekolah menengah.
Sekolah Ripetta mengadopsi kebijakan baru itu pada Desember untuk memberi para siswa transgender yang sedang dalam masa transisi gender, lingkungan sekolah yang tenang dan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri, kata Sonia Mugello, seorang guru di sekolah tersebut.
Psikoterapis Maddalena Mosconi, yang mengepalai unit untuk anak di bawah umur di pusat transisi gender di rumah sakit San Camillo di Roma, mencatat bahwa siswa transgender sering dirundung, dan lebih cenderung putus sekolah daripada siswa yang tidak memiliki masalah orientasi seksual. Ia mengatakan, penanganan medis siswa transgender, seperti terapi hormon dan terapi kejiwaan, sebaiknya dilakukan sedini mungkin untuk menghindari depresi dan masalah-masalah mental lain.
Mosconi mengatakan usia rata-rata orang yang datang ke pusat bantuannya kini menurun. Ia mengaitkan perkembangan tersebut dengan tumbuhnya kesadaran tentang masalah transgender di Italia.
Setelah lulus Juni mendatang, Matteo ingin berkarir sebagai animator kartun. Ia memulai terapi hormon enam bulan lalu dan juga menjalani terapi kejiwaan. Operasi penggantian kelamin tidak diperlukan untuk mengubah identitas resmi gender di Italia, tetapi Matteo mengatakan ia ingin menjalani operasi untuk membuat dadanya terlihat lebih maskulin.
“Ada yang mengira kami melakukan ini agar dikenali orang lain sebagai laki-laki atau perempuan. Tapi kami sama sekali tidak peduli tentang itu. Kami hanya melakukannya karena ketika kami melihat diri kami sendiri di cermin, kami akhirnya bisa berkata, ‘Akhirnya saya menjadi diri saya sendiri',” komentarnya. [ab/ka]