Belasan orang berkumpul di pondok bambu depan Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Yogyakarta. Kyai R Arsyadi Choirudin, pengampu masjid ini memimpin sholawat dan menyampaikan wejangan pendek. Kali ini, tentang pentingnya sikap bersabar menghadapi musibah.
“Menurut Imam Ghazali, ciri-ciri orang yang sabar adalah orang yang tidak pernah sambat atau berkeluh kesah dalam hidupnya. Diibaratkan seperti orang ketika minum jamu, ekspresi wajahnya tidak ada kegetiran. Maka marilah kita hadapi musibah ini dengan tabah, selalu berdoa mohon supaya cepat berlalu,” papar Kyai Arsyadi.
Pengajian selepas ibadah sholat Dhuhur adalah tradisi lama yang terus dilakukan sampai saat ini. Mayoritas yang datang adalah jamaah berusia di atas 50 tahun. Mereka melanjutkan acara itu dengan menikmati minuman dan makanan kecil.
Berada di Plosokuning, seolah membuat lupa siapapun bahwa wabah virus corona sedang merebak. Ibadah berjamaah dan kegiatan keagamaan di masjid ini seperti jamaah sholat Jumat serta pengajian malam berjalan rutin seperti biasa. Padahal, di kampung-kampung sekitarnya, warga menutup diri. Jalan desa ditutup, dan ibadah berjamaah di masjid ditiadakan. Acara kumpul warga, seperti rapat lingkungan dan arisan ibu-ibu bahkan ikut diliburkan.
Belum Terjadi Transmisi Lokal
Hari ini, tepat sebulan virus corona mulai mewabah di Yogyakarta. Kasus pertama yang resmi diumumkan pemerintah daerah pada 15 Maret 2020, adalah bayi tiga tahun yang dua pekan sebelumnya pergi bersama orang tuanya ke Depok, Jawa Barat. Di wilayah inilah, kasus pertama di Indonesia ditemukan dan diumumkan Presiden pada 3 Maret 2020.
Dua pekan dirawat di rumah sakit, balita itu dinyatakan sembuh. Seiring proses perawatan balita di rumah sakit, satu persatu kasus lain pun muncul. Pemerintah daerah menyatakan, hingga sebulan ini seluruh kasus adalah bawaan dari wilayah lain atau imported case. Mayoritas pasien baru datang dari Jakarta dan sekitarnya.
BACA JUGA: Yogya Hadapi Corona: Tunda Sejumlah Acara dan Lakukan Kuliah OnlineJuru bicara gugus tugas penanganan Covid-19 DIY, Berty Murtiningsih memastikan, belum ada transmisi lokal meski jumlah kasus terus naik. Penegasan ini berulang kali disampaikan, seiring pertanyaan dan keraguan berbagai kalangan atas klaim itu yang terus muncul.
“Transmisi lokal berdasar hasil penyelidikan epidemiologi telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga. Kalau kasus positif impor menularkan kepada seseorang, maka baru dua generasi,” ujar Berty.
Untuk menentukan adanya transmisi lokal, kata Berty, harus dengan kajian epidemiologi, siapa menularkan ke siapa sehingga dinamika penularannya harus jelas. Pihak yang berkewajiban melakukan kajian epidemiologi ini menurut pedoman yang dikeluarkan, adalah dinas kesehatan di kabupaten atau kota. Belum ada kajian untuk menjawab pertanyaan mengapa setelah satu bulan, belum terjadi transmisi lokal di Yogyakarta.
Berty juga menyampaikan data hingga Rabu (15/4), Yogyakarta memiliki total 3.652 ODP dan 581 PDP. Dari jumlah itu, yang dinyatakan positif sebanyak 62 orang, dengan 22 orang sembuh dan enam orang meninggal dunia. Saat ini, masih ada 275 PDP yang menunggu keluarnya hasil uji usap (swab test) tenggorokan mereka. Dari jumlah yang menunggu hasil lab itu, sebanyak 14 orang meninggal sebelum menerima hasilnya. Jika ditotal, ada 20 orang meninggal di DIY.
Percepatan Pengujian Spesimen
Dari data yang setiap hari dikeluarkan, jelas terlihat bahwa jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang meninggal cukup tinggi di Yogyakarta. Kondisi ini kadang menimbulkan polemik baik di rumah sakit maupun di masyarakat. Status yang lama dipastikan itu membuat resah dan menjadi problem tersendiri selama wabah virus corona.
Dalam telekonferensi antara para dokter dan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 9 April 2020, sejumlah rumah sakit mengeluhkan kelambanan pemeriksaan ini. Jika hasil uji lab datang lambat, ruang isolasi menjadi penuh karena pasien yang statusnya belum jelas tetap harus dikarantina.
Semua telunjuk mengarah ke Balitbangkes Kementerian Kesehatan. Seluruh spesimen virus corona di Indonesia, awalnya diuji di lembaga ini. Karena begitu lambat, pemerintah menambah sepuluh lokasi lagi, terutama di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP). Lembaga di bawah Kementerian Kesehatan ini tersebar di berbagai kota, termasuk Yogyakarta. Namun, sepuluh lab akhirnya juga tidak mampu melayani spesimen yang membanjir. Sejak awal April, Kemenkes memberi wewenang kepada banyak laboratorium melakukan pengujian.
Selain BTKLPP, di Yogyakarta ada laboratorium milih RSUP dr Sardjito dan RSA UGM untuk uji spesimen corona. Meski begitu, kata Kepala BTKLPP Yogyakarta, Irene, mereka belum mampu mengejar sisa spesimen yang menumpuk.
“Kita kerja di hari libur. Kita harap di hari libur sampel-nya enggak banyak, ternyata libur juga bisa sampai 200 sample. Terus kerjanya kita juga dua shift, bukan hanya di jam kerja, tetapi juga sampai malam,” kata Irene ketika ditemui di BTKLPP Yogyakarta.
Selain dari Yogyakarta, BTKLPP juga menerima spesimen dari sejumlah kabupaten di Jawa Tengah.
Untuk mengejar spesimen virus corona yang terus membanjir, BTKLPP menutup salah satu lab-nya dan mengalihkan personel khusus untuk layanan terkait wabah ini. Hingga saat ini, BTKLPP masih mengalami keterlambatan empat hari dari spesimen yang masuk. Artinya, spesimen yang diperiksa pada 15 April sebenarnya telah masuk ke kantor mereka pada 11 April. Dengan penambahan alat, personel dan ruangan khusus untuk spesimen corona, Irene menjanjikan pemeriksaan akan lebih cepat pekan depan.
Salah satu kendala mereka, yang juga dialami adalah kelangkaan primer dan reagen. Laboratorium di seluruh dunia memperebutkan bahan tersebut saat ini.
“Kita berbeda dengan laboratorium lain. Mereka kalau primer habis tutup, kita tidak. Ketika primer habis kita tetap terima sampel. Kalau sehari menerima 150 sampai 200 sampel, tentu akan menumpuk,” tambah Irene.
Perlu Perbaikan Komunikasi
Meski tidak secara khusus melarang warga beraktivitas, suasana kota Yogyakarta relatif sepi pada dua pekan pertama setelah muncul kasus positif virus corona. Pada akhir Maret, sejumlah kampung bahkan menutup akses jalan, dan menjadi viral di media sosial. Lockdown ala kampung ini kemudian ditiru warga berbagai provinsi dan menjadi pemandangan umum saat ini.
Awal April, kondisi mulai berubah. Aktivitas warga mulai nampak dan jalanan kota bahwa ramai kembali pekan kedua bulan ini. Imbuan social distancing tidak lagi ketat diterapkan.
“Saya sudah mulai operasional lagi sejak delapan hari yang lalu, meskipun orderan masih sepi tapi driver-nya banyak,” kata Trisna, seorang pengemudi ojek online.
Aktivitas ojek online dan warga beribadah tanpa mengindahkan imbauan jaga jarak, adalah wujud tidak adanya kewaspadaan. Fenomena ini menandakan ada persoalan komunikasi resiko yang tidak tersampaikan. Penilaian ini disampaikan pakar epidemiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Riris Andono Ahmad.
“Pada outbreak, isunya adalah isu praktikal, teknis. Dan harus ada kejelasan apa yang harus dilakukan secara praktis. Nah, ini harus ada strategi komunikasi resiko yang jelas, dan seharusnya pada level sistem kesehatan yang menanganinya dan itu kemudian dimonitor, respon masyarakat seperti apa,” kata Riris.
Meski tidak mau membandingkan, Riris memberi contoh apa yang dilakukan di China, Korea Selatan, Taiwan dan Vietnam sebagai model yang bisa ditiru. China diuntungkan oleh pemerintahan yang cenderung otoriter, tetapi di sisi lain respon mereka cepat. Korea Selatan dan Taiwan berhasil karena mampu membangun sistem informasi terpadu yang mengaitkan data berbagai bidang. Sementara Vietnam diuntungkan oleh respon cepat sehingga mampu memotong penyebaran wabah.
“Korea Selatan mengatakan, kuncinya adalah data dan transparansi. Itu yang menyebabkan mereka bisa melakukan respon dengan cepat dan terkoordinasi,” kata Riris.
Ketika ada informasi dari pemerintah, masyarakat akan memberikan respon. Perlu informasi baru sebagai respon balik, sebab jika tidak masyarakat akan kebingungan. Upaya masyarakat melakukan lockdown jalan kampung adalah salah satu bentuk kebingungan itu, karena mereka tidak menemukan jawaban dari ketidakjelasan informasi. Dalam wabah, kata Riris, informasi dan komunikasi risiko harus dilakukan terus menerus.
Your browser doesn’t support HTML5
“Yang sekarang terjadi sebenarnya bukan isu karena kekurangan informasi, justru masyarakat kelebihan informasi dari media sosial dan media massa yang seringkali kontradiktori, ada hoaks dan sebagainya. Mereka menjadi bingung, mana yang seharusnya dipercaya. Seharusnya ada otoritas yang bisa memberikan informasi langsung ke setiap rumah tangga,” tambah Riris.
Masyarakat harus memiliki panduan praktis, tentang apa yang harus dilakukan selama wabah melanda. Panduan itulah yang belum ada sampai saat ini, lanjut Riris. Tidak hanya di Yogyakarta, itu adalah fenomena di masyarakat secara nasional. [ns/ab]