Amerika Serikat (AS) yang kini terpecah akan menyaksikan momen pada layar terpisah yang kurang menyenangkan pada Kamis (6/1) mendatang ketika Presiden Joe Biden menggunakan peringatan serangan 6 Januari di Kongres untuk memperingatkan ancaman terhadap demokrasi AS, sementara Donald Trump akan menggunakan kesempatan tersebut untuk mengabarkan teori konspirasinya.
Satu tahun setelah gerombolan pendukung Trump berdemo di Gedung Kongres AS untuk mencoba dan mencegah para anggota parlemen mengesahkan kemenangan Biden dalam pemilihan presiden, luka politik yang tercipta masih jauh dari kata sembuh.
BACA JUGA: Trump Dukung Calon Petahana Viktor Orban dalam Pemilu HungariaBiden dan Wakil Presiden Kamala Harris dilaporkan akan berbicara dari dalam Gedung Capitol, di mana kerusuhan dari kejadian yang hampir tidak dapat dipercaya itu terjadi ketika para pendukung Trump berjuang melewati sejumlah polisi untuk menyerang jantung demokrasi AS.
Sebagai politisi veteran yang keluar dari masa pensiunnya untuk berbuat sesuatu atas kepresidenan Trump yang dinilai otoriter, Biden sering memperingatkan selama tahun pertamanya di Gedung Putih mengenai ancaman "eksistensial" atas kebebasan politik yang hingga kini diterima begitu saja oleh kebanyakan warga Amerika.
Pidatonya, yang menjadi bagian dari serangkaian acara sebagaimana dikatakan sekutu utama Biden, Ketua DPR dari Partai Demokrat Nancy Pelosi, dinilai akan membawa peringatan tersebut ke tingkat selanjutnya.
Sementara Kongres mengadakan perenungan atas apa yang disebut Biden sebagai "suatu momen gelap", Trump akan melakukan sebuah konferensi pers dari properti mewah miliknya di Mar-a-Lago, Florida.
Pesan Trump juga dapat ditebak. Meski kalah lebih dari tujuh juta suara atas Biden, dan walaupun kalah dalam beberapa tantangan pengadilan di seluruh negeri, Trump terus menggembar-gemborkan klaim bahwa pemilihan presiden pada 2020 berjalan tidak adil.
BACA JUGA: Poll: Setahun Pasca Serangan Capitol Hill, Orang AS Prihatin akan Demokrasi MerekaTuduhan itu hanyalah elemen paling membara dari serangan yang lebih luas terhadap Biden dalam segala hal mulai dari isu mengenai imigrasi hingga COVID-19. Semua hal tersebut tersebut dilakukan dalam upaya, yang belum diumumkan hingga saat ini, untuk mengambil kembali kekuasaan pada 2024.
Ini adalah kampanye yang menurut Carl Tobias, seorang profesor di Fakultas Hukum Universitas Richmond, dinilai "belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah AS."
"Tidak ada mantan presiden yang berusaha berbuat begitu banyak untuk mendiskreditkan penggantinya dan proses demokrasi," kata Tobias. [mg/rs]