Sejarah Berpihak Pada Perempuan Yaman

Perempuan Yaman tampil bersandingan dengan pria dalam demonstrasi anti pemerintahan sejak tahun lalu. (Foto: AP)

Kaum perempuan Yaman tampil di garda depan dalam perjuangan yang mengagumkan untuk meraih hak-hak sebagai perempuan dan warga negara.

Peralihan kekuasaan yang menghambat situasi dan terkadang dengan kekerasan sedang terjadi di Yaman. Jika transisi tersebut berjalan mulus, salah satu pihak yang sangat mendapatkan manfaat adalah kaum perempuan di negara tersebut.

Ketika demonstrasi mengguncang ibukota Sana’a tahun lalu, sebagai bagian dari kebangkitan demokrasi yang terjadi di wilayah Arab, puluhan ribu perempuan tampak di antara para demonstran, dan beberapa tampil sebagai pemimpin.

Presiden Yaman saat itu, Ali Abdullah Saleh, merespon dengan menuduh kaum perempuan berlaku tidak sesuai ajaran Islam.

Saleh sudah turun dari kekuasaan sekarang, dipaksa menyerahkan kursi pada Wakil Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi Februari lalu. Namun perempuan di Yaman masih berdemonstrasi, menuntut haknya dan mengatakan bahwa tuntutan mereka sesuai dengan ajaran agama Islam.

Di garda depan perjuangan tersebut adalah Tawakul Karman, wartawan karismatik, politisi dan aktivis hak-hak perempuan yang telah memimpin begitu banyak demonstrasi anti pemerintahan tahun lalu dan menjadi perempuan Arab pertama yang memenangkan Hadiah Nobel untuk Perdamaian.

“Islam, seperti juga agama lainnya, tidak berlawanan dengan hak-hak perempuan, demokrasi atau prinsip-prinsip hak asasi manusia mana pun atau nilai-nilai seperti persamaan, keadilan dan harga diri,” ujar Karman dalam wawancara lewat telepon. “Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai keimanan.”

Keyakinan seperti ini mungkin sulit disebarkan di Yaman karena masyarakatnya masih sangat tradisional serta miskin, dan perempuan memiliki tingkat literasi setengahnya dari pria.

Tawakkol Karman (tengah), perempuan Yaman pertama yang memenangkan Hadiah Nobel untuk Perdamaian. (Foto: AP)

Meski ada kendala-kendala tersebut, kaum perempuan Yaman terus maju, dan banyak diantaranya menggunakan teknik media sosial untuk mendorong tujuan mereka. Salah satunya adalah aktivis dan penulis blog yang menyebut dirinya, “NoonArabia.” Ia tidak menggunakan nama sebenarnya karena takut menghadapi pembalasan.


“Agama Islam tidak pernah mengatakan bahwa perempuan tidak boleh bekerja atau memainkan peran penting dalam masyarakat di luar tembok rumahnya,” ujar NoonArabia. “Kelompok fundamentalis selalu menyalahgunakan ajaran Islam sebagai cara untuk menindas perempuan.”

Menurut NoonArabia, hal-hal utama yang menghambat kemajuan perempuan di Yaman adalah norma sosial dan hukum adat, bukan agama. Perempuan yang berdemonstrasi, menurutnya, mengambil “langkah besar untuk mendobrak batasan tabu.”

“Perempuan Yaman telah membuktikan dirinya sebagai mitra dalam perjuangan untuk perubahan,” ujar NoonArabia, dengan menambahkan bahwa tujuan mereka adalah menggunakan aktivisme sebagai sebuah langkah untuk memainkan peranan dalam pembuatan keputusan di semua tingkat ekonomi dan politik.

Harapan di kalangan aktivis-aktivis Yaman adalah bahwa Karman, dengan hadiah Nobel dan peran penting dalam kebangkitan demokrasi yang masih terus berjalan, akan memimpin pergerakan tersebut.

“Perempuan harus hadir di setiap tingkat pemerintahan transisi dan struktur-struktur di masa depan,” ujar Karman. “Dan inilah yang kita perjuangkan. Kita tidak berjuang hanya untuk hak-hak perempuan sebagai perempuan, tapi juga sebagai warga negara.”

Tapi Isobel Coleman, akademisi Timur Tengah dari Dewan Hubungan Luar Negeri (di New York atau Washington) menyarankan agar tidak menaruh ekspektasi terlalu tinggi terkait Yaman.

“Yaman merupakan masyarakat yang sangat tradisional,” ujar Coleman, seraya menambahkan bahwa Yaman mungkin harus melalui sebuah “revolusi budaya total” sebelum perubahan yang mendasar bisa terjadi.

Resistensi masyarakat tradisional Yaman akan perubahan barangkali terlihat jelas di alun-alun Taghyeer di Sana’a, yang disebut juga sebagai alun-alun perubahan dan pusat simbolis kebangkitan demokrasi sejak tahun lalu.

Ketika perlawanan terhadap pemerintahan Saleh dimulai tahun lalu dan Alun-Alun Perubahan menjadi tempat kaum oposisi berdemonstrasi, perempuan tampak menonjol di dalamnya. Mereka bersanding dengan para pria saat demonstrasi mencapai momentum, dan bahkan tidur bersampingan di tenda-tenda yang dipasang di tempat tersebut.

Kelompok tradisional tampak terkejut dan karena itulah Saleh mengeluarkan keputusan bahwa perempuan telah berperilaku tidak Islami.

Sekarang ini, kelompok-kelompok oposisi lain telah mengambil alih di Alun-Alun Perubahan dan memasang pagar kayu setinggi bahu untuk memisahkan demonstran perempuan dan laki-laki.

“Pemisahan gender tradisional telah merasuki pusat pemberontakan lewat kelompok-kelompok Islami yang menaruh pagar di sekelilingnya,” ujar Rahma Hugaira, presiden Media Women, kelompok oposisi di Yaman.

Seorang perempuan Yemen mengambil foto dari belakang pagar di Alun-Alun Taghyeer tempat para demonstran anti pemerintahan. (Foto: Reuters)

Ia mengatakan bahwa banyak demonstran perempuan yang menyimpulkan bahwa mereka dimanipulasi oleh kelompok-kelompok politik yang berkompetisi meraih kekuasaan dan memutuskan untuk meninggalkan alun-alun serta tidak melakukan demonstrasi lagi.


Adanya tindak kekerasan semakin memperumit perjuangan politik dan hak di Yaman. Konflik antar suku terus terjadi di bagian utara negara tersebut dan militer harus melawan kelompok militan yang berafiliasi dengan al-Qaida di bagian selatan. Pada beberapa hari terakhir, fraksi-fraksi pendukung Saleh dari militer bahkan mencoba mengambil alih Kementerian Pertahanan di Sana’a.

Namun Coleman dari Dewan Hubungan Luar Negeri mengatakan bahwa meski ada kekerasan dan konflik politik, perempuan Yaman telah membuat tuntutan mereka atas persamaan hak sebuah isu penting dalam perkembangan politik bangsa. Ia mengatakan bahwa generasi perempuan yang lebih terdidik sedang muncul di Yaman dan negara-negara tetangga dan tuntutan akan persamaan akan terus meningkat.

Susan Markham, direktur partisipasi politik di Lembaga Demokratik Nasional di Washington mengatakan bahwa Yaman “bergerak ke arah yang benar.”

Markham mengatakan bahwa perempuan Yaman telah membentuk kelompok cendekiawan yang mempelajari teks-teks keagamaan dan mencari cara untuk mengakomodasi persamaan gender dalam hukum syariah, sebuah keharusan jika ingin mencapai kemajuan yang lebih lanjut.

Salah satu sinyal dalam kemajuan ini datang dari Menteri Hak Asasi Manusia, Hooria Mashoor, yang mengatakan bahwa Konferensi Perempuan Nasional di negara tersebut telah mengusulkan kewajiban kuota 30 persen untuk perempuan di semua lembaga pemerintahan ke dalam konstitusi yang baru.

Negara ini baru memulai pembahasan isi konstitusi yang baru tersebut, namun para ahli mengatakan fakta bahwa hak-hak kaum perempuan sedang serius dibahas merupakan langkah penting dalam proses yang sedang berkembang ini.

“Tidak ada yang bisa memarjinalkan mereka sekarang, dan mereka akan terus maju,” ujar Mashoor tentang perempuan Yaman.

“Perkiraan saya,” ujar Coleman, “akan ada satu langkah maju, satu langkah mundur; dua langkah maju, satu langkah mundur. Tapi sejarah ada di pihak perempuan.” (VOA/Aida Akl)