Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Laksdya TNI Harjo Susmoro beberapa waktu lalu menyurati Presiden Joko Widodo untuk meminta perubahan nama Dewan Ketahanan Nasional menjadi Dewan Keamanan Nasional melalui keputusan presiden. Namun rencana ini ditolak sejumlah koalisi masyarakat sipil.
Dalam diskusi mengenai rencana pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang digelar di Jakarta, Jumat (2/9), Husein Ahmad dari The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) menyatakan lembaganya tidak setuju dengan rencana pemerintah untuk membentuk Dewan Keamanan Nasional karena dalam Pasal 15 UU No.3/2002 tentang Pertahanan disebutkan Presiden seharusnya juga dibantu oleh lembaga bernama Dewan Pertahanan Nasional.
Dia menambahkan Dewan Keamanan Nasional merupakan isu lama yang berusaha dibentuk melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Keamanan Nasional, yang juga ditolak oleh koalisi masyarakat sipil karena dianggap menghidupkan kembali Komando Operasi keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) yang pernah ada di masa Orde Baru.
Langkah pemerintah saat ini merupakan jalan pintas pemerintah pasca RUU Keamanan Nasional yang sebelumnya gagal disahkan.
BACA JUGA: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua Harus Utamakan Kepentingan KorbanHusein menjelaskan tidak semua negara memiliki Dewan Keamanan Nasional. Lembaga ini merupakan sebuah forum untuk membahas masalah keamanan nasional, militer dan kebijakan luar negeri sebagai bahan rekomendasi untuk memberikan nasihat dan membantu presiden dalam mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan tersebut di antara berbagai lembaga negara.
Dia menegaskan Indonesia tidak membutuhkan Dewan Keamanan Nasional.
"Namun Indonesia memiliki lembaga yang sebetulnya sudah memiliki fungsi-fungsi DKN (Dewan Keamanan Nasional) di bidang pertahanan dan keamanan nasional. Pertama, kita sudah punya Kemenpolhukam," kata Husein.
Your browser doesn’t support HTML5
Selain itu, kata Husein, Indonesia juga mempunyai Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang dapat memberikan kajian mendalam sebagai bahan pertimbangan presiden dalam mengambil langkah-langkah tertentu. Juga ada Dewan Pertimbangan Presiden dan Kantor Staf Presiden.
Yang perlu disoroti pula adalah pembahasan mengenai rencana pembentukan Dewan Keamanan Nasional adalah partisipasi publik yang sangat minim karena hanya didiskusikan di tataran pemerintah.
Kalau dilihat dari sisi positif, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan rencana pembentukan Dewan Keamanan Nasional merupakan upaya untuk menata kembali sistem keamanan nasional Indonesia. Namun dia mencurigai rencana pemerintah membentuk Dewan Keamanan Nasional akan disalahgunakan untuk kepentingan rezim berkuasa.
"Saya khawatir Dewan Keamanan Nasional akan dibentuk memberikan otorisasi terhadap pendekatan-pendekatan koersif atas nama mendeteksi atau mengantisipasi ancaman keamanan nasional, termasuk terorisme. Membenarkan misalnya militer ikut menangkap, menahan, menggeledah, membekukan rekening teroris. Membenarkan militer ikut menyadap atau badan intelijen ikut dalam interogasi, menangkap, seperti dulu pernah tercermin dalam RUU Keamanan Nasinal," ujar Usman.
Berkaca dari pengalaman dua dasawarsa terakhir di dunia, banyak pemerintahan di negara lain atas nama keamanan nasional, penanganan terhadap kelompok radikal, terutama radikal Islam dan khususnya tersangka teroris, menggunakan pendekatan keamanan yang sangat koersif, termasuk penyiksaan saat proses interogasi. Hal inilah yang menyebabkan sering terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Kepala Biro Persidangan, Sisfo dan Pengawasan Internal Dewan Ketahanan Nasional Brigjen TNI I Gusti Putu Wirajena mengatakan perubahan tata nama perlu dilakukan untuk memudahkan sinkronisasi, koordinasi antara Dewan Ketahanan Nasional dengan lembaga negara lainnya.
Dia menyatakan jika telah dirubah, ke depannya Dewan Keamanan akan membangun sebuah Pusat Krisis Nasional untuk memberikan berbagai rekomendasi kepada presiden. [fw/em]