Di tengah maraknya kerusuhan lembaga pemasyarakatan di beberapa kota di Indonesia, sejumlah napi LP Wirogunan Yogyakarta menggelar pameran lukisan bertajuk "Gagal Ekspresi".
YOGYAKARTA, JAWA TENGAH —
Sejumlah napi di LP Wirogunan Yogyakarta bersama sejumlah seniman yang tergabung dalam kelompok Nara Rupa, menggelar pameran dari tanggal 5 hingga 25 Juli 2013 di Galeri WirogunArt, Jalan Tamansiswa 21 Yogyakarta.
Widodo, seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta awalnya ingin membuat wadah bagi rekan sesama seniman berekspresi yang bebas dari dominasi pasar seni rupa. Karena mendapat kepercayaan mengelola galeri WirogunArt milik LP Wirogunan, ia akhirnya bekerjasama dengan LP memberikan kursus melukis untuk empat napi dan mendirikan kelompok seniman Nara Rupa yang berarti pelaku seni rupa.
Lukisan karya napi yang dipamerkan bersama Nara Rupa, menurut Widodo, merupakan ekspresi kerinduan para napi pada dunia yang bebas. “Karya kebanyakan (tentang) kerinduan dunia diluar sana, kampung halaman, alam lingkungan yang pernah ia lihat ingin dimunculkan kembali. Tercapailah ekspresinya. Bahkan lebih sukses jika dibanding seniman di luar yang banyak kena doktrin," kata Widodo.
Andri Susilo (35 tahun) masih harus menyelesaikan masa hukuman dua tahun. Lukisan Gunung yang ia buat merupakan gambaran tentang penjara yang berfungsi seperti kawah condrodimuko, tempat ia memahami karakter banyak orang dan tempat ia memperbaiki diri.
“Disini berbaur dengan macam-macam karakter orang, sifat orang, disini bisa memperbaiki diri, berubah. Jadi, entar kita keluar itu bisa membersihkan hati, ya bisa plong itu aja (setelah melukis)," jelas Andri Susilo.
Joen Sriyono (43 tahun) masih harus menjalani 16 tahun dari 17 tahun hukuman penjara. Melukis adalah hobinya sejak SD. Setelah mengikuti latihan melukis kini ia menjadi ingin terus melukis dengan medium kanvas. Ia puas dengan karya lukisan kuda, simbol kekuatan hidup. “Sudah sesuai dengan angan-angan saya, dengan (lukisan) ini sudah merasa bahwa yang saya inginkan itu sudah mewakili itu ya," katanya.
Irfan Gunarto (39 tahun) baru menjalani enam tahun dari hukuman penjara 12 tahun. Kerinduannya akan dunia yang bebas mendorongnya melukis "Penari Dayak". Setelah bebas nanti, ia ingin mengunjungi Kalimantan. Selama di LP Wirogunan ia juga telah belajar melukis kaca. "Saya bebas dari sini penginnya ke Kalimantan. Sya pengin tahu aja seperti apa Kalimantan dari apa yang saya dengar dari teman-teman diluar," kata Irfan.
Agung Wahyu Bintoro (32 tahun) tinggal menyelesaikan sekitar enam bulan dari 15 bulan hukumannya. Selama di penjara ia sering menerima pesanan dari sesama napi untuk melukis wajah dengan medium kertas. Kini ia melukis Ikan, inspirasi yang ia dapatkan dari mengamati kolam ikan didepan sel yang ia huni di LP Wirogunan. "Kemarin pakai cat pakai kanvas itu pertama kali buat saya. Hasilnya ya belum memuaskan, gitu. Saya seringnya foto wajah," kata Agung.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Deny Indrayana ketika membuka pameran mengatakan, saat ini terdapat sekitar 16 ribu napi dan tahanan di seluruh Indonesia dengan jumlah petugas yang terbatas. Padahal, sesuai Undang Undang, negara berkewajiban mengembangkan potensi yang mereka miliki.
"Di dalam (penjara) itu banyak sekali potensi-potensi yang perlu kita berikan ruang untuk diwujudkan. Kalau itu adalah potensi seni, tentu saja rekan-rekan Nara Rupa kemudian adalah salah satu pintu pembuka agar potensi-potensi itu muncul ke masyarakat," jelas Deny Indrayana.
Widodo, seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta awalnya ingin membuat wadah bagi rekan sesama seniman berekspresi yang bebas dari dominasi pasar seni rupa. Karena mendapat kepercayaan mengelola galeri WirogunArt milik LP Wirogunan, ia akhirnya bekerjasama dengan LP memberikan kursus melukis untuk empat napi dan mendirikan kelompok seniman Nara Rupa yang berarti pelaku seni rupa.
Lukisan karya napi yang dipamerkan bersama Nara Rupa, menurut Widodo, merupakan ekspresi kerinduan para napi pada dunia yang bebas. “Karya kebanyakan (tentang) kerinduan dunia diluar sana, kampung halaman, alam lingkungan yang pernah ia lihat ingin dimunculkan kembali. Tercapailah ekspresinya. Bahkan lebih sukses jika dibanding seniman di luar yang banyak kena doktrin," kata Widodo.
Andri Susilo (35 tahun) masih harus menyelesaikan masa hukuman dua tahun. Lukisan Gunung yang ia buat merupakan gambaran tentang penjara yang berfungsi seperti kawah condrodimuko, tempat ia memahami karakter banyak orang dan tempat ia memperbaiki diri.
“Disini berbaur dengan macam-macam karakter orang, sifat orang, disini bisa memperbaiki diri, berubah. Jadi, entar kita keluar itu bisa membersihkan hati, ya bisa plong itu aja (setelah melukis)," jelas Andri Susilo.
Joen Sriyono (43 tahun) masih harus menjalani 16 tahun dari 17 tahun hukuman penjara. Melukis adalah hobinya sejak SD. Setelah mengikuti latihan melukis kini ia menjadi ingin terus melukis dengan medium kanvas. Ia puas dengan karya lukisan kuda, simbol kekuatan hidup. “Sudah sesuai dengan angan-angan saya, dengan (lukisan) ini sudah merasa bahwa yang saya inginkan itu sudah mewakili itu ya," katanya.
Agung Wahyu Bintoro (32 tahun) tinggal menyelesaikan sekitar enam bulan dari 15 bulan hukumannya. Selama di penjara ia sering menerima pesanan dari sesama napi untuk melukis wajah dengan medium kertas. Kini ia melukis Ikan, inspirasi yang ia dapatkan dari mengamati kolam ikan didepan sel yang ia huni di LP Wirogunan. "Kemarin pakai cat pakai kanvas itu pertama kali buat saya. Hasilnya ya belum memuaskan, gitu. Saya seringnya foto wajah," kata Agung.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Deny Indrayana ketika membuka pameran mengatakan, saat ini terdapat sekitar 16 ribu napi dan tahanan di seluruh Indonesia dengan jumlah petugas yang terbatas. Padahal, sesuai Undang Undang, negara berkewajiban mengembangkan potensi yang mereka miliki.
"Di dalam (penjara) itu banyak sekali potensi-potensi yang perlu kita berikan ruang untuk diwujudkan. Kalau itu adalah potensi seni, tentu saja rekan-rekan Nara Rupa kemudian adalah salah satu pintu pembuka agar potensi-potensi itu muncul ke masyarakat," jelas Deny Indrayana.