Sekitar 70% Pesawat Ditangguhkan karena Risiko Keamanan di Papua, Susi Pudjiastuti Minta Maaf

  • Fathiyah Wardah

Pemilik Maskapai Penerbangan Susi Air dan mantan Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti, dalam konferensi pers di Jakarta, 1 Maret 2023, tentang pilot Selandia Baru yang disandera oleh separatis di Papua bulan lalu. REUTERS/Willy Kurniawan

Pemilik maskapai penerbangan Susi Air, Susi Pudjiastuti, meminta maaf kepada masyarakat dan pemerintah daerah di Papua yang menjadi terganggu karena penangguhan penerbangan tujuh puluh persen armada Pilatus Porter pasca kasus pembakaran pesawat dan peyekapan pilot Susi Air bulan lalu. Penangguhan ini telah mengganggu kegiatan dan distribusi logistik bagi masyarat di wilayah terpencil.

Insiden pembakaran pesawat Susi Air di Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan awal Februari lalu masih menyisakan satu persoalan, yaitu masih disanderanya Phillips Mark Marthens, pilot pesawat yang berkewarganegaraan Selandia Baru. Meskipun baru-baru ini Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang dipimpin oleh Egianus Kogoya mengirimkan foto dan video yang memperlihatkan kondisi Marthens yang baik-baik saja, upaya pembebasannya masih belum membuahkan hasil.

Pendiri dan sekaligus pemilik maskapai Susi Air, Susi Pudjiastuti, dalam jumpa pers, Rabu (1/3) menyampaikan keprihatinan dan duka atas insiden itu. Ia berharap agar pilot Susi Air yang sedang disandera bisa dibebaskan tanpa syarat.

"Dengan kejadian ini (pembakaran pesawat sekaligus penyanderaan pilot Susi Air), tentu mengagetkan kami, menyedihkan kami, juga tidak habis pikir. Untuk saya pribadi, apa yang terjadi ini adalah hal yang sangat, sangat, sangat tidak kita harapkan," kata Susi.

Secara pribadi, Susi mengatakan perjuangan sekelompok warga Papua untuk memperoleh kemerdekaan dengan mengambil kemerdekaan orang lain bukan cara yang bijak dan benar.


Phillips Mark Marthens, yang sudah disandera selama 22 hari, adalah salah satu pilot terbaik di maskapai penerbangan itu. Marthens sempat mengundurkan diri pada tahun 2015, tetapi kemudian kembali bekerja pada tahun 2021 lalu. Marthens menikah dengan perempuan asal Pangandara, yang juga merupakan kampung halaman Susi Pudjiastuti. Puluhan tahun lalu ibunda Marthens juga pernah bekerja di perusahaan perikanan milik Susi.

Susi Pudjiastuti membantah selentingan kabar yang mengatakan Marthens bersekongkol dengan kelompok bersenjata di Papua. Ia menegaskan bahwa ia mengenal keluarga Marthens dan keluarga istrinya secara pribadi.

Rute Perintis Jadi Nadi Utama di Papua

Susi Air sudah melayani rute penerbangan ke Papua sejak 2006. Diawali dari satu pesawat, kini pada tahun 2023 Susi Air mengoperasikan 22 pesawat. Rute penerbangan yang dilayani mencakup Sentani, Wamena, Nabire, Timika, Manokwari, Merauke, Sorong, dan Biak. Setiap hari ada sekitar 70-120 penerbangan ke Papua yang dilakukan Susi Air, dengan mengoperasikan dua jenis pesawat yaitu Caravan dan Pilatus Porter.

Pesawat Susi Air yang sempat disandera KSB saat berada di lapangan terbang Wangbe, Distrik Wangbe, Kabupaten Puncak, Papua, Jumat, 12 Maret 2021. (Courtesy: Kapen Kogabwilhan III).

Pesawat jenis Pilatus Porter, yang dapat mengangkut 7-9 orang atau barang berkapasitas 900 kilogram, dapat terbang ke bandara-bandara dengan panjang landasan hanya 200-300 meter, yang tidak dapat dilayani pesawat jenis Caravan dan lainnya. Jika ada daerah yang tidak dapat dilayani dengan Pilatur Porter, maka akan dikirim helikopter.

Susi Air mendapat kontrak penerbangan perintis dari pemerintah pada tahun 2012. Rute perintis adalah jalur-jalur penerbangan yang ditentukan oleh pemerintah, dengan harga tiket yang disubsidi. Umumnya subsidi yang diberikan mencapai 65 persen dari harga tiket sehingga tiket yang harus dibayar pengguna sangat murah, yaitu sekitar 250 ribu rupiah.

Your browser doesn’t support HTML5

Sekitar 70% Pesawat Ditangguhkan karena Risiko Keamanan di Papua, Susi Pudjiastuti Minta Maaf

Dengan rata-rata 100 penerbangan setiap hari, maka kehadiran Susi Air sangat penting bagi nadi kehidupan di Papua. Faktor keamanan menjadi pertimbangan utama Susi Air ketika beroperasi karena luasnya medan bumi Cendrawasih itu. Maskapai itu tidak terbang di zona merah, yang dinilai berpotensi mengalami gangguan keamanan.

Tujuh puluh lima persen pilot Susi Air adalah warga Indonesia, dan sisanya warga asing. Seorang kapten pilot pesawat jenis Pilatus Porter diharuskan sudah memiliki lebih dari tiga ribu jam terbang. Khusus untuk penerbangan di Papua, kualifikasi pilot dibagi menjadi dua, yakni untuk rute dataran dan pegunungan; di mana khusus di pegunungan akan digunakan pesawat jenis Caravan dan Pilatus Porter tadi.

BACA JUGA: Pasukan Keamanan Kepung Separatis yang Tahan Pilot Selandia Baru

Menurut Susi, dengan rata-rata seratus penerbangan tiap hari, kehadiran Susi Air sangat signifikan di Papua. Sejak awal, Susi Air menjadikan faktor keamanan sebagai prioritas tertinggi dalam beroperasi di Papua karena tantangan medan di Bumi Cendrawasih tersebut. Susi Air tidak akan terbang ke kawasan yang diindikasikan berbahaya atau dilarang terbang oleh pemerintah. Komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah setempat dan juga maskapai penerbangan lain senantiasa dilakukan. Oleh karena itu insiden pembakaran dan penyanderaan pilot menjadi suatu hal yang sangat mengejutkan.

Susi Pudjiastuti mohon maaf karena terpaksa menangguhkan 70 persen armada Pilatus Porter di Papua pasca insiden awal Februari lalu, yang tentunya berdampak luas pada warga Papua, khususnya di wilayah-wilayah pegunungan terpencil yang kini mengalami gangguan logistik. Ia berharap pemerintah daerah, tokoh-tokoh Papua, masyarakat Papua, dan OPM menyadari akses transportasi dan kebutuhan pokok adalah hak-hak kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Kerugian Susi Air Tak Kecil

Pada jumpa pers itu, pengacara Susi Air, Donal Fariz, penangguhkan penerbangan karena faktor keamanan itu menimbulkan kerugian yang tidak kecil. Pesawat Susi Air yang dibakar 3 Februari lalu saja bernilai sekitar US$2 juta.

"Jelas ini bukan situasi yang diinginkan. Susi Air tentu rugi secara finansial, tetapi tentu yang lebih dirugikan adalah masyarakat Papua secara lebih luas. Yang dulu bisa diakses dengan pesawat, sekarang sebagian masyarakat terpaksa kemudian kembali berjalan barangkali memasuki hutan untuk bisa mengakses satu tempat ke tempat yang lainnya," ujar Donal.

BACA JUGA: Kelompok Pemberontak Papua Tunjukkan Foto dan Video Pilot Selandia Baru yang Diculik

Ditambahkannya, Susi Air tidak mendapat penjelasan rinci mengenai perundingan antara pemerintah dengan OPM untuk membebaskan pilot Phillips Mark Marthens, termasuk soal permintaan uang tebusan. Namun pemerintah Kabupaten Nduga sudah memberitahu bahwa mereka telah mengutus orang yang bisa berkomunikasi dengan kelompok yang menyekap Marthens. Hingga saat ini kelompok penyandera belum pernah membuka komunikasi dengan Susi Air.

Demi Pembebasan Pilot, Pemerintah Diserukan Bekerjasama dengan Negara Lain

Pengamat keamanan di Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi menyerukan pemerintah untuk tidak memenuhi tuntutan kelompok penyandera Marthens. Pemerintah, tambahnya, sebaiknya bekerjasama dengan negara-negara yang memiliki perhatian dengan isu Papua, seperti Australia dan Papua Nugini.

BACA JUGA: Indonesia Koordinasi dengan Selandia Baru Terkait Penyanderaan Pilot di Papua 

"Supaya kita bisa memastikan apa yang kemudian terjadi saat ini tidk lagi terulang di masa yang akan datang. Kita pengen KKB ini tidak lagi ke depannya menggunakan cara-cara yang bisa mengancam masyarakat sipil. Sebab kalau sudah masuk ke dalam ranah itu, ini bisa dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang serius," tutur Yusa kepada VOA.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, secara terang-terangan menyebut Organisasi Papua Merdeka OPM sebagai organisasi teroris.

Mengaku Bertanggungjawab, OPM Minta Senjata dan Uang Tebusan

Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengaku bertanggung jawab terhadap penyanderaan Marthens, dan mengatakan tidak melepaskan pilot muda itu hingga Selandia Baru, Australia, Amerika, dan Eropa bertanggung jawab karena telah mengirim senjata dan melatih TNI/Polri untuk melawan warga Papua.

Sebby Sambo tidak merinci pertanggungjawaban seperti apa yang diinginkannya. Namun kelompok milisi itu telah menyampaikan syarat pembebasan Marthens adalah jika mereka diberi senjata dan uang tebusan dari pemerintah. [fw/em]