Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres memperingatkan pada Rabu (25/9), bahwa naiknya permukaan air laut menciptakan “gelombang penderitaan yang meningkat,” di saat sebuah koalisi negara-negara pulau kecil menyatakan, bahwa kedaulatan mereka harus dihormati, bahkan jika tanah mereka hilang.
Hampir satu miliar orang di seluruh dunia tinggal di pesisir dataran rendah, yang semakin rentan terhadap gelombang badai, erosi pantai, dan banjir. Sementara pulau-pulau di Pasifik menghadapi ancaman yang semakin besar, terhadap kelangsungan ekonomi dan bahkan eksistensi mereka.
Sejak awal abad ke-20, permukaan air laut global rata-rata telah naik lebih cepat daripada abad sebelumnya selama setidaknya 3.000 tahun terakhir. Ini merupakan dampak langsung dari pemanasan global, yang disebabkan manusia, yang memicu pencairan es di daratan dan pemuaian termal air laut.
“Naiknya permukaan air laut berarti naiknya gelombang penderitaan,” kata Guterres, saat berpidato di KTT yang menempatkan bahasan terkait kenaikan permukaan air laut sebagai topik utama, di Majelis Umum PBB.
Selama seabad terakhir, ketika suhu global meningkat sekitar satu derajat Celsius, permukaan laut naik 160 hingga 210 milimeter, dengan sekitar setengah dari jumlah tersebut terjadi sejak 1993, menurut NASA.
BACA JUGA: KTT Masa Depan Senin Dijadwalkan Bahas Penguatan Sistem PBBMenurut sebuah studi yang dikutip oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB, lima negara yaitu Maladewa, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Nauru, dan Kiribati, mungkin tidak dapat dihuni lagi pada 2100, yang akan menciptakan 600 ribu pengungsi iklim tanpa kewarganegaraan.
Guterres memperingatkan tentang “masyarakat yang terendam banjir, air tawar yang terkontaminasi, tanaman pangan yang hancur, infrastruktur yang rusak, keanekaragaman hayati yang hancur, dan ekonomi yang hancur, dengan sektor-sektor seperti perikanan, pertanian, dan pariwisata yang terpukul”.
Dampak-dampak ini sudah terasa, katanya, merujuk pada ratusan keluarga di sebuah pulau di Panama, yang terpaksa pindah ke daratan utama, dan orang-orang di Saint Louis, Senegal, yang meninggalkan rumah, sekolah, bisnis, dan masjid mereka karena gelombang pasang yang mendekat.
Feleti Teo, perdana menteri Tuvalu, negara kecil di kepulauan Pasifik, menambahkan bahwa naiknya permukaan air laut menimbulkan “ancaman eksistensial bagi ekonomi, budaya, dan warisan mereka, serta bagi tanah yang telah memelihara nenek moyang mereka selama berabad-abad.”
Banjir telah meningkatkan salinitas tanah, mengurangi hasil panen, dan melemahkan pepohonan. Infrastruktur seperti jalan dan kabel listrik telah hanyut. “Tidak ada tanah yang lebih tinggi untuk membangun kembali,” katanya.
Negara-negara di dataran rendah berusaha untuk “menegaskan bahwa status kenegaraan tidak dapat diganggu gugat dalam keadaan apa pun akibat naiknya permukaan air laut,” dan bahwa zona maritim 200 mil laut mereka tetap utuh meskipun daratannya berkurang.
BACA JUGA: PBB Adopsi Pakta Untuk Bangun “Masa Depan Lebih Cerah” bagi KemanusiaanNegara-negara kepulauan juga mendorong perlindungan hukum untuk melindungi hak asasi manusia dari orang-orang yang mengungsi secara paksa, memastikan dukungan finansial untuk upaya adaptasi, dan membangun program yang melestarikan budaya mereka.
“Sejak 1989, kami telah membunyikan peringatan tentang krisis iklim dan kenaikan permukaan laut sambil menghadapi dampaknya yang menghancurkan,” tambah Perdana Menteri Samoa, Fiame Naomi Mata'afa dalam sebuah pernyataan.
“Melalui semua itu, kami tetap teguh, negara, zona maritim, dan hak kami tetap utuh di bawah hukum internasional, tidak peduli naiknya permukaan laut: kami di sini untuk tetap tinggal,” tambahnya.
Guterres mendesak negara-negara untuk berkomitmen pada target iklim baru yang ambisius, untuk menjaga pemanasan global 1,5 derajat Celsius, khususnya negara-negara G20, yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi global.
“Kita tidak bisa membiarkan harapan dan aspirasi miliaran orang mati di air,” kata dia. [ns/uh]