Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan wabah virus corona “dengan cepat berubah menjadi krisis HAM.”
Dalam suatu pernyataan hari Kamis (23/4), ia meminta pemerintah agar memastikan layanan kesehatan tersedia dan dapat diakses semua orang, paket bantuan ekonomi benar-benar membantu mereka yang paling terdampak, dan semua orang memiliki kemampuan untuk mendapatkan makanan, air serta tempat tinggal.
“Kita telah melihat bagaimana virus tidak mendiskriminasi, tetapi dampaknya demikian. Ini mengungkapkan kelemahan mendalam dalam pemberian layanan publik dan ketimpangan struktural yang menghalangi akses ke mereka. Kita harus memastikan mereka ditangani dengan benar dalam respons terhadap wabah,” kata Guterres. “Dan dalam semua hal yang kita lakukan, jangan pernah lupa: yang mengancam adalah virus, bukan manusia,” lanjutnya.
BACA JUGA: Laporan PBB: Wabah Berubah Jadi Krisis Hak AnakPesan pemimpin PBB itu muncul sementara para pejabat kesehatan dunia memperingatkan bahwa meskipun sebagian negara telah mencapai kemajuan besar dan mulai melonggarkan langkah-langkah lockdown, perang melawan virus itu masih jauh dari selesai.
"Jangan keliru: kita masih harus menempuh jalan yang panjang. Virus ini akan bersama kita dalam waktu yang lama,” kata Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus. "Sebagian besar negara masih dalam tahap awal epidemi. Dan sebagian yang terdampak pada awal pandemi kini mulai melihat kemunculan kembali kasus penularan.”
Para pejabat kesehatan AS juga mendesak masyarakat agar memperhatikan musim flu mendatang dan mendapatkan imunisasi flu untuk membantu mengurangi tekanan besar terhadap sumber daya kesehatan apabila ada sejumlah besar pasien flu dan virus corona pada saat yang bersamaan.
Dengan banyaknya penyakit yang memiliki gejala-gejala mirip, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Robert Redfield mengatakan kepada wartawan, “Kita harus membedakan antara mana yang flu dan mana yang virus corona.”
Ramadan di tengah wabah virus corona
Banyak negara masih berfokus pada penghentian perebakan wabah virus corona dengan memberlakukan langkah-langkah tinggal di rumah. Restriksi tersebut mengganggu rutinitas yang dilakukan Muslim selama bulan Ramadan, yang dimulai pekan ini.
Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, melarang puluhan juta orang yang tinggal di kota-kota besar untuk mudik. Para pejabat di Jakarta memperpanjang pemberlakuan lockdown hingga 22 Mei dan meminta warga Muslim agar tidak datang ke masjid.
Menteri kesehatan Turki mendesak langkah serupa, dengan mengatakan warga harus menunda tradisi mengadakan buka puasa bersama teman dan keluarga hingga tahun depan.
Turki telah memberlakukan jam malam akhir pekan serta melarang mereka yang berusia kurang dari 20 tahun dan 65 tahun ke atas untuk meninggalkan rumah mereka.
Muslim di ibu kota Malaysia juga diminta untuk sholat di rumah karena masjid-masjid ditutup.
Pakistan mengambil pendekatan berbeda, mengabaikan imbauan para dokter dan membuat masjid tetap buka, meskipun mendorong masyarakat agar menerapkan aturan social distancing.
Masalah apakah akan mengizinkan warga berkumpul untuk beribadah dihadapi banyak negara dan di antara banyak agama.
Para pejabat AS sebagian besar meminta warga agar menghindari pertemuan untuk menyambut Paskah awal bulan ini, sementara sejumlah gereja menentang perintah lockdown dari pemerintah negara bagian dan mengadakan kebaktian yang dihadiri umat.
Seorang hakim federal di California hari Rabu mengatakan ia akan menolak permintaan tiga gereja yang mengajukan permohonan pembatasan sementara untuk mengesampingkan perintah gubernur. Mereka berpendapat pemerintah melanggar Amendemen Pertama konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan berkumpul.
Tetapi hakim itu berpendapat dalam situasi darurat, pemerintah memiliki kewenangan untuk “memberikan solusi darurat, yang mungkin melanggar hak-hak konstitusional mendasar.” [uh/ab]