Sekjen PBB memperbarui seruan mendesak komunitas internasional pada Kamis (7/9) untuk mencari strategi terpadu untuk mengakhiri krisis yang memburuk di Myanmar.
Sekretaris Jenderal Antonio Guterres mengatakan bantuan keuangan yang menurun harus ditingkatkan ke tingkat sebelumnya agar memungkinkan badan dunia tersebut merespons “tragedi besar.” Ia mengatakan situasi di Myanmar semakin memburuk sejak ia bertemu dengan para pemimpin ASEAN pada pertemuan puncak 2022, dan sekali lagi meminta pemerintah yang dipimpin militer di negara yang dilanda krisis tersebut untuk segera membebaskan semua tahanan politik dan membuka pintu untuk kembali ke pemerintahan demokratis.
Militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021, dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, menangkapnya dan para anggota penting partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) yang berkuasa, yang telah meraih kemenangan telak untuk masa jabatan baru pada pemilu November 2020.
Pasukan keamanan menekan penentangan luas terhadap pengambilalihan militer dengan kekuatan mematikan, membunuh ribuan warga sipil dan menangkap ribuan lainnya yang terlibat dalam protes tanpa kekerasan. Tindakan keras yang kejam ini memicu perlawanan bersenjata di sebagian besar wilayah negara itu.
Guterres juga mengungkapkan kembali kekhawatirannya atas masalah-masalah lain yang diperburuk oleh perselisihan antar negara. Ia memperingatkan bahwa “ada risiko nyata terjadinya fragmentasi dalam sistem perekonomian dan keuangan dunia akibat perbedaan strategi dalam bidang teknologi dan kecerdasan buatan serta kerangka keamanan yang saling bertentangan.”
“Dunia kita berada pada titik puncaknya karena serangkaian krisis: mulai dari memburuknya keadaan darurat iklim dan meningkatnya perang dan konflik, hingga meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan dan meningkatnya ketegangan geopolitik,” kata Guterres.
Pada Agustus 2017, diskriminasi yang sudah berlangsung lama terhadap Muslim Rohingya di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, termasuk penolakan kewarganegaraan dan hak-hak lainnya, memuncak ketika militer Myanmar melancarkan apa yang mereka sebut sebagai kampanye pembersihan di negara bagian Rakhine utara sebagai tanggapan atas serangan terhadap polisi dan penjaga perbatasan oleh sebuah kelompok militan Rohingya.
Lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, di mana mereka tetap berada di kamp-kamp, karena tentara Myanmar diduga melakukan pemerkosaan dan pembunuhan massal serta membakar ribuan rumah.
BACA JUGA: Hukuman Penjara Aung San Suu Kyi DikurangiMahkamah Internasional, pengadilan tertinggi PBB, memerintahkan Myanmar pada bulan Januari 2020 untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk mencegah genosida terhadap Rohingya.
“Saya tetap sangat prihatin dengan memburuknya situasi politik, kemanusiaan, dan HAM di Myanmar, termasuk Negara Bagian Rakhine dan penderitaan sejumlah besar pengungsi yang hidup dalam kondisi putus asa,” ujarnya.
Sekjen PBB menyatakan dukungannya terhadap rencana perdamaian lima poin yang dibuat oleh para pemimpin ASEAN pada tahun 2021. Rencana tersebut menyerukan diakhirinya segera kekerasan di Myanmar dan dimulainya dialog di antara pihak-pihak yang bertikai, termasuk para jenderal yang berkuasa dan kubu Suu Kyi.
Namun para pemimpin ASEAN mengakui dalam pernyataan bersama bahwa strategi mereka gagal mencapai kemajuan apa pun di Myanmar.
BACA JUGA: Pakar PBB Usul Pendekatan Berbeda untuk Selesaikan Krisis MyanmarMeskipun gagal, para pemimpin blok 10 negara tersebut memutuskan untuk tetap berpegang pada rencana tersebut dan terus melarang para jenderal Myanmar dan pejabat yang ditunjuk untuk menghadiri KTT tingkat tinggi ASEAN.
Wakil Presiden AS Kamala Harris, yang terbang ke Jakarta untuk menghadiri pertemuan puncak menggantikan Presiden Joe Biden, mengatakan kepada para pemimpin ASEAN pada hari Rabu bahwa Washington mendukung rencana perdamaian mereka.
“Kami memiliki komitmen bersama terhadap peraturan dan norma internasional serta kemitraan kami dalam mengatasi permasalahan nasional dan regional seperti krisis di Myanmar,” kata Harris.
“Amerika Serikat akan terus menekan rezim tersebut untuk mengakhiri kekerasan yang mengerikan, membebaskan semua orang yang ditahan secara tidak adil, dan membangun kembali demokrasi inklusif di Myanmar,” kata Harris. [ab/lt]