Sekolah Masih Menjadi Mimpi bagi Sebagian Besar Anak Pengungsi

Anak-anak pengungsi Suriah di sekolah mereka di Fatih Sultan Mehmet School di distrik Karapurcek, Ankara, Turki, 28 September 2015.

Di kota perbatasan Turki, Urfa, kadang enam anak perempuan berusia 6 hingga 19 tahun ini tidak tahu harus melakukan apa setiap harinya, sementara saudara laki-laki mereka yang berusia 14 tahun sekolah.

Apartemen sewaan mereka, terlalu kecil untuk keluarga pengungsi Suriah. Lebih dari setahun pendidikan mereka terhenti.

Mereka belajar bahasa Turki sendiri, berharap akan ada tempat di sekolah bagi mereka.

“Saya pernah mencoba mendaftarkan mereka di sekolah Turki, tapi ditolak, dan sekolah swasta untuk orang Suriah juga penuh," keluh ibu mereka, Birca, yang rumahnya di kota Kobani yang dikuasai oleh Kurdi Suriah hancur tahun lalu. Sejak saat itu ia mendorong anak-anaknya untuk belajar bahasa, musik agar hidup mereka tidak hanya melulu soal menikah dan melahirkan anak.

Ia kini mempertimbangkan bergabung dengan para pengungsi lain pergi ke Eropa musim semi mendatang ketika cuaca mulai membaik, apapun bahaya yang harus mereka hadapi.

Memang beberapa pengungsi Suriah mengatakan pendidikan, bagi dirinya sendiri atau anak-anaknya, sebagai salah satu alasan utama mereka mau melalui perjalanan berbahaya ke dunia Barat. Empat tahun terperangkap di perang sipil Suriah, mereka muak hidup dalam ketidakpastian.

Menurut perkiraan Human Rights Watch (HRW), kurang dari sepertiga anak-anak pengungsi Suriah yang berjumlah 700.000 orang di Turki bisa sekolah. Kelompok HAM yang berbasis di New York tersebut memperingatkan lebih dari 400.000 anak-anak pengungsi Suriah di Turki tidak bisa sekolah, walaupun ada peraturan resmi pemerintah Turki yang memberikan mereka hak sekolah umum.

Seorang anak laki-laki pengungsi Kurdi dari Kobani mencoba mengintip sekolah barunya di kamp pengungsi di kota perbatasan Suruc, provinsi Sanliurfa, Turki, 2 November 2014.

Kendala

Kendala yang dihadapi anak-anak berbahasa Arab di Turki banyak sekali, mulai dari mendapatkan tempat di sekolah negeri yang terlalu penuh hingga masalah bahasa. Banyak keluarga pengungsi yang tidak mampu membayar biaya transportasi anak-anaknya ke sekolah, walaupun mereka berhasil menemukan sekolah yang mau menampung anak-anak mereka. Sebagian besar keluarga lainnya membutuhkan anak mereka untuk ikut bekerja.

Ada juga keluhan-keluhan tentang anak-anak Suriah yang dibully oleh anak-anak Turki.

Di beberapa provinsi dan kota Turki, pemerintah lokal gagal mematuhi peraturan Ankara bahwa anak-anak pengungsi harus diberikan kesempatan belajar di sekolah negeri, walaupun tidak ada tempat.

Bulan lalu, kementerian pendidikan Turki mengumumkan 180.000 anak pengungsi menerima pendidikan lewat kurikulum yang sudah dimodifikasi di 270 pusat pendidikan sementara atau disebut TEC. Perkiraan resmi lainnya menyebutkan sekitar 50.000 anak-anak Suriah sekolah di SD dan SMP/SMA. Sebagian besar TEC mengambil tempat di sekolah-sekolah negeri setelah kelas pagi selesai.

Pemerintah Turki mengatakan hal ini perbaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2014, saat hanya 6.000 anak Suriah sekolah dan hanya ada beberapa TEC yang beroperasi. Pemerintah Turki merasa memerlukan lebih banyak bantuan internasional. Para pejabat pemerintah mengatakan mereka tidak bisa dipaksa bertanggungjawab sendiri.

Alasan mereka mendapat simpati dari kelompok-kelompok HAM.

"Walaupun pemerintah Turki telah berbaik hati dalam mengatasi masalah krisis pengungsi Suriah, Turki masih bergulat memastikan anak-anak Suriah mendapatkan hak untuk sekolah seperti peraturan internasional," kata HRW pada hari Senin (9/11).

Anak-anak belajar di kelas darurat di kamp pengungsi Bab Al-Salam di Azaz, Syria, 27 Oktober 2014.

Bantuan keuangan

HRW menyebutkan masyarakat internasional harus memberikan "bantuan keuangan dan teknis mendesak" untuk upaya-upaya yang bisa meningkatkan pendidikan anak-anak pengungsi. Uni Eropa memberi $15 juta bulan lalu, tapi tidak cukup meningkatkan kemampuan Turki memberikan pendidikan bagi lebih banyak anak pengungsi dan memberikan kelas bahasa pemula serta membantu anak-anak bantuan psikososial dan akademis tambahan yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan kurikulum sekolah baru.

“Bila kita gagal memberikan pendidikan bagi anak-anak Suriah maka seluruh generasi akan menanggung risikonya," kata Stephanie Gee, dari program hak-hak asasi HRW. “Tanpa harapan untuk masa depan yang lebih baik, pengungsi Suriah yang putus asa mungkin akan mempertaruhkan nyawa mereka untuk kembali ke Suriah atau melalui perjalanan yang berbahaya ke Eropa.”

Risiko yang akan mereka hadapi bukan hanya kembali ke Suriah atau melalui perjalanan ke Eropa yang berbahaya. Badan bantuan Inggris TheirWorld memperingatkan kurangnya dana dari donor dan ketidakmampuan Turki memberikan pendidikan yang lebih banyak akan menyebabkan anak-anak yang tidak sekolah menghadapi risiko terpaksa bekerja, menikah muda, eksploitasi seksual dan ekstrimisme.”

Ribuan anak-anak Suriah yang jumlah pastinya tidak diketahui belajar di sekolah swasta dengan berbagai kualitas, tergantung dana yang tidak tentu dari badan-badan amal swasta atau anggota diaspora Suriah. Banyak di antaranya diberikan oleh organisasi yang terkait dengan Ikhwanul Muslimin, yang menimbulkan kekhawatiran.

Ada 10 sekolah yang diselenggarakan oleh 10 kelompok Islamis.

“Sebagian besar orang yang membantu sekolah-sekolah swasta ini punya agenda sendiri dan sebagian besar Islamis, dan ini merupakan masalah,” keluh Nagum al-Ghadri, wakil presiden Koalisi Nasional Suriah, organisasi oposisi politik Suriah yang didukung Barat.

Ia memperingatkan bahwa ketidakpedulian dunia Barat untuk merasakan masalah ini berbahaya dan ia mendesak lebih banyak bantuan internasional diberikan pada para pengungsi ini. [dw]